anak penjual koran
“Datanglah pukul satu , selepas Juhur” ujar Imran AZ kepadaku melalui henponnya. Imran AZ adalah Ketua Lembaga Adat Melayu (LAM) kota Batam. Apa gerangan yang membuat runsing pria 60 an tahun ini?.
Sebagai Ketua LAM, Imran AZ yang lahir dan di besarkan di Belakang Padang ini, ditabalkan dan diberi gelar Datuk. Beliau kukenal lebih dari 30 tahun, sama-sama “mencari makan” di Pertamina. Jadi paling tidak sedikit sebanyak, mengertilah aku akan nada bicaranya, mestilah ada yang perlu dibincangkan.
Aku pun acap berkeluh kesah kepadanya, terutama soal Marwah Melayu, dan kurasa pantaslah kalau keluh kesah itu disampaikan kepadanya, apalagi kini, karena bang Imran demikian aku memanggilnya, sedang menjabat sebagai yang dikedepankan selangkah, ditinggikan seranting di bumi segantang lada ini.
“Adakan mereka nak minta SKB dua menteri” kataku mengadu kepada beliau, suatu waktu dulu, saat itu kami hendak mendirikan mushala kecil di Pulau Kubung. Karena disitu telah berdiri terlebih dahulu sebuah rumah ibadah agama lain.
Penduduk yang mendiami pulau itu kini minoritas muslim, dari puluhan KK yang ada disitu hanya tinggal 7 KK lagi yang ber agama Islam. Dan banyak lagi hal-hal lain yang menyangkut soal ke masyarakatan , sering kami bincangkan.
Mungkin agaknya karena itulah, Bang Imran mengajakku berembuk tengah hari itu. Dan benar belaka, topik yang kami bahas, tak jauh-jauh juga dari penyakit masyarakat, yang kini sedang marak di Batam.
Anak Jalanan
Jadilah tengah hari itu kami bertemu di lantai 3 kantor Walikota Batam. Kulihat disitu hadir, Ibu Nurmadiah, dari pemberdayaan perempuan, pak Syahrir dari dinas sosial, ada juga pak Munir dari Kepolisian, pak Zulhendri Satpol PP, dan beberapa orang lainnya.
“Saya kurang setuju dengan istilah anak jalanan” cetus ibu Nurmadiah ” Mereka adalah anak-anak yang butuh perhatian” jelasnya lagi. Meskipun Anak – anak butuh perhatian ini , sering membuat onar dan menggangu ketertiban umum. Mengamen dan sex bebas hal biasa bagi mereka.
Kami dari pihak Kepolisian pun serba salah, “Melarang anak-anak di usia sekolah dan jam sekolah menjual koran, kita malah diberitakan oleh pihak pemilik Media” kata pak Munir menimpali. “Bahkan bukan hanya dari pihak Media saja, banyak pihak sekarang yang mengatasnamakan HAM, kalau anak-anak yang di eksploitasi itu “diamankan” tambahnya lagi.
“Kami pun sudah berbuat ada pusat rehabilitasi, tahun 2010 ada 300 orang yg sudah dibina, tahun ini hanya sekitar 30 orang saja ” kata pak Syahrir pula. Tahun 2011 ini anggaran yang disetujui hanya sebanyak itu saja. Lagian tempat pusat rehabiltasi itu jauh dari pusat kota, di Nongsa sana. Anak-anak Punky yang kini membuat club bernama The Lengket itu tak betah jauh dari pusat keramaian.
Rumah Singgah
Apa yang telah dibuat tak menambah surut keberadaan anak-anak bermasaalah ini, meskipun telah ada Perda dibuat, pengemis dan gelandangan masih tetap bergentayangan .
Menurut informasi ada sebuah rumah singgah, yang menampung anak jalanan ini. Rumah Singgah yang satu ini terletak di pusat keramaiaan, tak jauh dari Hotel Planet Holiday, kesitulah sebagian anak-anak butuh perhatian itu, benar-benar singgah. Hampir semua anak2 itu beragama Islam. Rumah singgah itu pula di kelola oleh non Muslim. Konon kabarnya, disitu diajarkan juga tentang agama, tentu saja sesuai agama yang dianut oleh si pengelola rumah singga tersebut.
Agak miris rasanya mendengar pemaparan tentang konsep rumah singgah ini, jadi teringat soal populasi umat Islam di Batam, kalau data ini memang valid. Yaitu, tahun 1985 umat Islam di Batam sekitar 93,8 % dan tahun 2010 tinggal 72 % saja lagi.
Di Pulau – Pulau sekitaran Batam ataupun pinggiran Batam banyak berdiri sejenis Rumah Singgah ini, ada yang mereka beri nama Pondok .
Penduduk yang dulunya Nomaden itu, kini bermukim dan dimukimkan di perkampungan perkampungan yang hingga kini belum teraliri listrik itu, gencar didatangi tamu-tamu dari luar Batam. Tak susah menarik mereka simpati kepada si pembawa “warta” dengan bahasa yang sederhana dan logika.
Seperti ini misalnya, “Anda cukup sekali saja dalam satu minggu sembahyang, di jamin masuk surga, dari pada 5 kali sehari semalam, belum tentu masuk surga, pilih mana?” . Bisa – bisa yang lima kali malah masuk neraka wil , Fawailullil mushalin
Tentu saja pilihan jatuh kepada yang sekali sepekan, apalagi waktunya bisa diatur sendiri, mau pukul delapan atau pukul 10 pagi, atau agak sorean dikit, tidak harus pagi pagi buta, dikala ayam mulai berkokok, lagi enak2an tidur. Bukankah yang bangun pagi pagi itu adalah pembantu rumah tangga.?
Itulah yang terus dicekokin kepada mereka yang masih awam dalam beragama dan sungguh-sungguh masih lemah dalam aqidah.
Siapa gerangan yang bisa mengkaounter perang pemikiran seperti itu?, mengatakan kepada penduduk yang sekarang sudah menetap dan tak nomaden itu lagi, bahwa 5 kali sehari semalam saja belum di jamin apalagi sekali sepekan. Siapa pula yang menjelaskan bahwa Tuhan itu Allah , tidak beranak dan tidak diperanakkan.
Agaknya siapa yang bersedia dan berlapang waktu, memberitahukan kepada mereka bahwa Allah itu satu, Ahad, sejak awal, sejak manusia pertama diciptakan – Adam as – hinggalah kini dan akhir zaman, tidak dua, apalagi tiga.
Tak tahulah, apakah rumah singgah yang kami usulkan itu, rumah singgah untuk menampung anak2 butuh perhatian, terutama perhatian masaalah aqidah sebagaimana yang di runsingkan Datuk Imran AZ, dapat diwujudkan. Wallahu a’lam .
Filed under: agama, berita, budaya, cari duit, catatan harian, dakwah, Dunia Islam, etika, hukum, indonesia, internasional, islam, koran, korupsi, Lain-Lain, masjid, Melayu, pemerintah, pemko batam, Pendidikan, polisi, polisi (polri), Politik, prilaku, sejarah, sekolah, Sosial, suku laut, teroris, umum, wakaf, zakat, ziarah | Leave a comment »