Terkecoh Diskon di Matahari Departement Store Mega Mall Batam.


AHAD (7/9) Buletin Jumat (BJ), sengaja berkunjung ke Matahari Departemen Store, terlihat hampir sepanjang Koridor lantai 2 Mega Mall Batam 14218_926271390720266_591767290444090978_ncenter itu dipenuhi pengunjung, banyak bergantungan tulisan sales 50 % , tulisan puti dengan dasar merah mencolok. Bermacam barang diskon ditawarkan.
Dan benar salah satunya ada sepatu merk Fladeo dibadrol rp. 520.000,- hem, kalau dipotong 50% berarti rp. 260.000,- lumayan murah pikir BJ. Karena memang ingin membeli sepatu.10665998_926281177385954_6963323324438869949_n
Beberapa orang disamping BJ tengah sibuk memilih-milih dan membawanya ke kasir, BJ pun tengah memilih juga nomor dan warna yang pas. Tiba-tiba sepasang suami isteri yang sedang berlalu disamping BJ datanh menghampiri dan membisikkan bahwa di lantai bawah di toko FLADEO, jenis dan merk sepatu yang sama dijual rp. 99.000,-10361994_926281340719271_1976874129189193504_n
BJ bergegas kebawah memastikan dan ternyata benar. sepasang sepatu yang didiskon 50% di Matahari Departemen Store itu, hanya dijual rp. 99.000,-
Teliti sebelum membeli jangan terlalu percaya Diskon.. (imbalo)

Pulau Boyan Rumah Pak Panjang


Dari Perjalanan Mengunjungi Pemukiman Sulu Laut

Dari Pelabuhan Sagulung, kami naik spead boat 40 PK. Hanya beberapa menit saja, persis disebalik sebuah pulau kecil tak berpenghuni, sampailah kami di Pulau Boyan.  Pulau Boyan di dalam peta tertulis Pulau Bayan. Entah sejak bila, pulau kecil berpenghuni belasan kepala keluarga suku laut ini, berubah nama menjadi Pulau Boyan.

Pak Panjang Orang yang paling tua di pulau itu pun tak tahu persisnya. Sekitar tiga tahun yang lalu, kami dirikan sebuah mushala kecil disitu. Dai yang dikirim oleh AMCF, hanya bertahan setahun. “Sejak Ustadz Tasman tak ada, tak ada lagi yang mengajari kami me ngaji” ujar Ibu Ani.  “Di mushala jarang ada kegiatan”.lanjutnya Kami shalat Juhur dan Asyar di jamak dan diqasar berjamaah.

Di dalam mushala terlihat bersih, tetapi hampir seluruh dinding plaster semen terkelupas. Mung kin dulu pasir yang digunakan bercampur dengan air asin, jadi mudah terkelupas. Dibagian luar dinding mushala pun demikian juga. Plasteran terlihat mengelem bung, seakan ingin berpisah deng an pasangan batunya.

Pulau kecil masuk dalam kelu rahan Pulau Buluh dan kecamatan Bulang ini, tidak ada sumber air tawarnya , tetapi Alhamdulillah saat wuduk tadi, tandon 1000 liter sumbangan dari seseorang yang tak mau disebut namanya, berisi air, walaupun tidak penuh. Beberapa kali ada lembaga sosial survei kesitu, ingin membantu membuat sumur bor, tapi hingga kini belum terwujud.

Beberapa tahun yang lalu pu lau kecil yang eksotik ini, ramai di kunjungi kapal kapal kecil yang lalu lalang, untuk mengisi minyak. Disitu dulu, ada pangkalan pengisi an bahan bakar minyak (BBM). Masih terlihat beberapa buah tangki dari baja yang sudah mulai berkarat. Perpipaannya pun masih rapi terpasang. Diantara pipa – pipa dan tangki BBM itulah ada jalan setapak menu ju ke pantai, kerumah ibu Ani. Bu Ani mengharapkan ada seorang Dai lagi datang ke situ, agar dapat mengajari mereka tentang Islam.

Pak Panjang Dari jauh , melihat kami datang, ter gopoh gopoh pak Panjang datang, Pria tua 70 tahunan ini tersenyum, terlihat giginya rapi, rupanya baru dipasang gigi palsunya. Pak Panjang punya beberapa orang anak perempuan , seorang anak perempuannya bernama Fatimah menikah dengan warga keturunan dan hingga kini meme luk agama suaminya. Begitu juga cucu lelaki bu Ani, menikah dan mengikut agama isterinya.

Tak banyak yang dapat kami lakukan, hanya mendengar cura han hati dari penduduk kampung pulau Boyan itu. Pulau Boyan, mau dikatakan pulau terpencil, tidak juga. Hanya beberapa menit saja dari Batam, kota Metropolitan yang sibuk dengan segala kegiatan.

Tak jauh dari pulau itu ratusan kapal – kapal besar bersandar dan berlabuh menunggu perbaikan. Tentunya itu semua adalah devisa, yang tak menyentuh kehidupan mereka. “Umur saya paling juga 3 tahun lagi” ujar pak Panjang kali ini dia tidak tersenyum, tetapi tertawa, tampak semua gigi palsu nya. “Kapan kampung kami ada listriknya”. rungutnya.

Pantas pak Panjang merungut, tak jauh dari pulau itu pipa Gas diameter besar mengalir ke Singapura, puluhan kilo meter panjangnya. Aku tersenyum, lalu mengajak nya photo bersama. Kumasukkan lembaran berwarna biru ke dalam sakunya, itulah yang dapat kula kukan. Dan Aku tak mau berjanji, tapi isnyaAllah, akan kukabar kepada Datuk Bandar, mudah mudahan beliau mendengar.

Kami tinggalkan pulau Bayan, bersama Adi Sadikin dari Malaysia, Ita Hasan Si Pulau Terluar, Aisya dari Pekanbaru, Jogie dari Hang Tuah, Sabri anak jati pulau Bulang dengan lincahnya menjadi tekong kami menuju destinasi yang lain.

Hari pun beranjak petang. (*)

Info Halal : Selanjutnya Terserah Anda


Makanan halal menjadi tidak halal, ada beberapa faktor penyebabnya. Seperti masakan laut (seafood) misalnya, makanan yang sangat banyak penggemarnya ini, menjadi tidak halal apabila bumbu masak nya terbuat dari yang tidak halal.

Hampir semua masakan laut menggunakan saus, tidak afdol masakan itu tanpa saus. Apa lacur kalau saus digunakan dari barang yang tidak mempunyai sertifikat Halal?.
Seperti penuturan Herman (65) : “Kalau kami ganti sausnya dengan yang lain, langganan kami sudah terbiasa dengan saus yang itu” Ujar Herman pengelola Restoran Dju Dju Baru, sembari mengangkat sebuah botol tanpa label, berisi cairan bening dan kental.
Restoran Dju Dju Baru berada di seputaran Nagoya, Buletin Jumat (BJ) berkunjung ke Restoran itu kemarin, selasa (26/02). Adalah Ibu Yanti dari Telaga Punggur bertanya kepa da BJ tentang ke-halalan masa kan di Restoran itu.
“Restoran ini sudah 18 tahun, sejak kami dibelakang Hotel Harmoni” ujar Herman. “Tidak ada masaalah, tanpa sertifikat halal, langganan kami tetap ramai” Tambahnya lagi.
“Kalau ada sertifikat Halal, nanti kami tak boleh jual Beer, tak boleh ini tak boleh itu, banyak aturan” Jelasnya lagi. Herman pun menjelaskan kalau Restorannya tidak menjual Daging Babi. “Yang Jual Babi di Restoran Dju Dju satu lagi.” Ujar Herman.
Tidak berapa jauh dari Restoran Dju Dju Baru, persis disamping Hotel Dju Dju ada sebuah Restoran bernama Dju Dju, tanpa kata Baru, pengelola nya masih kerabat Herman.

Haram bukan karena unsur babi saja

Jadi, menurut sebagian orang, Halal itu cukup tidak ada babi. Sebagaimana pernyataan Herman. Menurut Herman tetamunya yang dari luar negeri selalu minta Beer, itulah sebab nya Restoran menyediakan minuman beralkohol itu.
Kalau tetamu dari dalam, jarang yang minta Beer. “Banyak juga tamu dari orang pemerintahan.” Ujar Herman lagi sambil terse nyum. Bahkan mantan orang nomor satu di Kepri ini pun acap makan di Restoran itu.
Semua mereka Muslim. “Kalau mereka datang lantai dua itu penuh, muat 50 orang” ujar Herman , matanya menga rah ke lantai dua Restoran itu.

Tidak Melanggar UU Perlindungan Konsumen

Kita tidak bisa memaksa Herman harus mengurus serti fikat Halal untuk Restorannya, tanpa itu pun pengunjung tak henti-hentinya berdatangan. Herman pun tak henti-henti nya menerima pembayaran uang dari pembeli selama kami berbincang.
“Sabar ya pak, Sabar ya pak, jangan tulis seperti itu. Nanti terdengar kasar, agak lembut sedikit.” ujar Herman kepada BJ. Sesaat BJ hendak meninggalkan Restoran itu.
Apa yang dikatakan Herman adalah benar, disisi Undang Un dang Perlindungan Konsumen, karena Restoran Dju Dju Baru tidak melanggar Undang-Undang. Herman tidak menyata kan Halal Restorannya :”Terse rah mau makan disini atau tidak, karena saya akan tetap menjual Beer dan menggunakan saus dan bumbu yang sama”.
Jadi terpulanglah kepada kita sebagai Muslim, peminat makanan laut yang masih peduli dengan halal dan haram. Kami anjurkan belilah dan konsumsilah makanan di tempat yang sudah berser tifikat Halal.

Merentasi Hutan Belantara Bumi Burma, Qurban 1433 H


Ali dan komunitas muslim lainnya disatu kampung dipedalaman Burma, Qurban 1433 H

Ali dan komunitas muslim lainnya disatu kampung dipedalaman Burma, Qurban 1433 H


Pagi itu Jumat (26/10), dicheck point keberangkatan Imigrasi di Ra Nong Thailand penuh sesak, antrian mengular panjang sampai ketempat penjualan ikan. Buletin Jumat salah seorang yang ikut antri dalam barisan itu.

Di Thailand pelaksanaan Idul Adha 1433 H, adalah sama dengan di Arab Saudi, yaitu hari Jumat 26 Oktober 2012, sementara di Myanmar , sebagaimana kita maklumi, pemerintahnya melarang kegiatan yang berbau pemotongan hewan sapi/lembu itu. Kita juga tahu sebagian besar pemeluk agama di negeri para biksu itu menganggap suci sapi/lembu. Tragedi pembantaian Muslim minoritas Rohingya di Arakan, berdampak juga sampai ke Rangon, bahkan hampir seluruh wilayah Myanmar (Burma).

Menurut KBRI di Rangon, mereka tetap shalat idul adha dan pemotongan hewan qurban hari Jumat. Namun di tempat lain terutama di kota-kota, umat Islam melaksanakan shalat hari Sabtu (27/10). Staff KBRI ini juga menyarankan kepadaku kalau hendak ke Myanmar, harus applay izin dulu ke Jakarta. “Kalau langsung datang (VOA), nanti bikin repot, kami harus datang ke Imigrasi” ujar staff perempuan yang kuhubungi melalu telpon selular, apakah sudah bisa masuk ke Rakhine.

Selat Andaman

Selat Andaman

Selesai saja pasport dicop, aku bekejar ke boat yang telah menunggu di dermaga.Sengaja kami charter boat seharga 200 baht. Boat melaju ke ke pos pertama 50 bath lagi harus dibayar ke petugas imigrasi dan bea cukai yang ada di satu pulau yang masih wilayah Ra Nong Thailand.

Dari pos pertama tadi ada satu pulau lagi yang harus disinggahi, pulau paling ujung, setelah itu kita akan kelaut bebas,Laut Andaman. Di pos ini hanya dari jauh kita tunjukkan buku paspor masing-masing penumpang. Di pos itu beberapa petugas yang memakai baju loreng hijau seragam lengkap dengan senjata laras panjang yang tersandang di bahu.

Hampir 30an menit melalui selat Andaman, kita akan tiba di satu pulau pula, pulau ini sudah masuk wilayah Burma, semua barang bawaan diperiksa oleh petugas. Barulah kita akan merapat ke dermaga khusus boat yang tidak jauh dari kantor imigrasi di kota Kok Song Myanmar.

Sama dengan di Ra Nong Thailand, di check pont imigrasi Kok Song Myanmar ini pun penuh sesak. Tiba giliranku bertatap dengan petugas imigrasi, petugas itu membolak balik buku paspor milikku, seakan tak percaya ada paspor hijau milik orang Indonesia , mau datang ke Kok Song. Agak tersenyum petugas itu, melihat stempel imigrasi Myanmar yang sudah beberapa kali tertera di pasporku. “Ten Dollar” ujarnya. Tak tok tak, tertera masuk tanggal 26 keluar tanggal 8 Nopember 2012.

Di Kota Kok Song atau dalam bahasa melayu berarti Pulau Dua, tidak terlihat suasana Idul Adha, kalau pun ada, banyaknya orang lalu lalang di pintu masuk tadi, dari cara berpakaian menunjukkan kalau mereka Islam. Di Kok Song ada beberapa masjid, pun tak terlihat suasana pemotongan hewan.

Nun jauh di pelosok hutan, di teluk – teluk sepanjang pantai laut Andaman, banyak bermukim komunitas muslim yang sudah ratusan tahun menetap disana. Jauh sebelum negara Myanmar terbentuk. Komunitas ini sebagian berasal dari Langkawi, seorang dari mereka bernama Tengku Yusuf.
“Sejak tok – tok kami sudah tinggal disini” ujar nya menerangkan tentang keberadaan mereka disalah satu teluk indah, daerah penghasil emas dulunya.

Tidak ada akses jalan darat ke pemukiman – pemukiman itu, semua ditempuh melalui perjalanan laut. Kalau tetap ingin memaksanakan jalan darat harus ditempuh dengan masuk hutan keluar hutan, dan berjalan diatas aliran sungai yang kering berbatu-batu kiloan meter jauhnya. Dari satu teluk ke teluk lainya bisa empat jam perjalanan dengan sepeda motor, bukan hanya hutan saja dilalui, tetapi naik bukit dan turun bukit yang berbatu-batu cadas.

Di pemukiman itu banyak penduduk usia diatas 60 tahun yang dapat dan menulis huruf jawi (arab melayu),dan tentunya berbahasa melayu.”Sejak 20 tahun terakhir ini, banyak pula orang macam Ali ini kat sini” kata Tengku Yusuf menerangkan sembari memperkenalkan Ali. Ali pemuda 30 an itu ikut membantu memotong hewan Qurban, kulit Ali rada hitam hidungnya mancung, giginya terlihat agak kemerah merahan, karena mereka disana suka makan sirih.

“Kami Shalatnya (maksudnya Idul Adha) tadi” ujar Tengku Yusuf lagi. “Karena kemarin (Kamis) wukuf di Arafah” ujarnya lagi. Tengku Yusuf terus bercerita tentang masa lalu sambil rebahan di lantai masjid kecil yang baru saja selesai dibangun mereka. Badannya terlihat lemah, senang sekali kelihatan dia dengan kedatanganku. Banyak yang diceritakannya kepadaku, yang tak mungkin kutulis satu persatu di media ini. Banyak yang diharapkannya dan penduduk kampung itu,tak terkecuali tragedi Arakan yang menyayat hati. Tengku Yusuf pun sama tak berharap terus membayar upeti dari hasil jerih payah mereka, kepada pemerintah yang tak pernah memperhatikan kehidupan sosial mereka.

Bukan kehendak mereka seperti itu, jauh sebelum perang dunia meletus mereka adalah bangsa yang berdaulat. Tidak disekat-sekat batas negara nisbi, dan ambisi segelintir manusia. Jauh sebelum pemerintah Junta memerintah mereka adalah manusia yang bertamadun. Jauh sebelum traktat London diterapkan.

Hari menjelang petang, aku masih terpikir dan teringat perjalanan masih jauh, akan 4 jam lagi melalui hutan semak belukar dan bebatuan air sungai yang mengering sebatas mata kaki, untuk pulang. Tiga kali terguling-guling dan terjerembab dari boncengan sepeda motor saat menuruni bukit bebatuan,sewaktu datang ke kampung itu tadi, bukanlah hal yang pernah kubayangkan sebelumnya. Seakan Tengku Yusuf membaca pikiranku, mengajakku untuk bermalam di kampung itu saja, kahawatir hari telah gelap.

Masih banyak yang akan di kerjakan esok harinya,ditempat lain pula, kami putuskan berangkat pulang, petang hari itu juga, nun jauh disana terlihat indah ciptaan Allah, di ujung pepohonan puncak bebukitan laut Andaman, hari ke 12 bulan Zulhijjah 1433 H, bulan purnama mulai mengambang, menerangi perjalanan kami, merentasi hutan belantara, bumi Burma.

Sampai jumpa lagi, ilal liqok. Semoga Allah membebaskan penderitaan saudara kami yang ada disana.

Sholat di Masjid Pengungsi Rohingya


bersama Imam Masjid asal Rohingya Myanmar

bersama Imam Masjid asal Rohingya Myanmar


Rak Nong adalah salah satu provinsi di Thailand yang berbatasan langsung dengan Kok Song Myanmar. Kedua wilayah ini dipisah oleh Laut Andaman. Dari Bangkok ke Rak Nong di tempuh sekitar 8 jam perjalanan dengan Bus. September 2012 yang lalu saya berkesempatan kembali mengunjungi Rak Nong.

Di Provinsi yang dikelilingi dengan perbukitan hijau ini banyak dijumpai warga Myanmar keturunan Rohingya. Tidak diketahui jumlah pasti. “Bisa ribuan banyaknya “ Ujar pak Sobirin sambil menyetir kenderaannya . Pak Sobirin adalah penduduk Rak Nong , pria paro baya ini, senang sekali dengan kedatanganku dan menginap pula di rumahnya. Pak Sobirin dapat berbahasa melayu dengan lancar. Bahasa Myanmar pun dikuasainya dengan fasih. “Sayapun pandai bahasa Bangladeh” ujarnya lagi.

Tengah hari itu Jumat (14/9), aku dibawa oleh pak Sobirin ke suatu masjid yang khusus jamaahnya warga Rohingya. Masjid yang terletak dipinggiran kota ini bentuknya memanjang, karena memang bekas ruko, dan benar dipenuhi jamaah, hampir semua warga Rohingya. Tetapi kalau ditanya , mereka tak menjawab betulkah mereka warga Myanmar.

Dari jamaah yang hadir nyaris kami berdua saja yang lain warna kulitnya. Pada saat masuk kedalam masjid , kulihat khatib sudah memberikan khotbahnya , aku bergegas shalat dua rakaat dan duduk dengan tertib di barisan kedua . Tetapi anehnya pak Sobirin menggamitku dan mengajakku pindah duduk, agak ke ujung barisaan.

Aku mengikutinya, karena enggak enak hati sebagai tamunya. Sama seperti saat di mobil sewaktu menuju masjid, pak Sobirin pun terus bercerita. Padahalkan khatib sedang khotbah pikirku dalam hati, mengapalah pak Sobirin ini terus bercerita. Memang terus terang sedikitpun aku tak tahu apa yang diutarakan khatib didepan mimbar itu.

Hampir 30 menit khotbah itu berlangsung. Setelah itu kulihat hampir semua jaamaah shalat dua rakat. Dan sang khatib tadi turun , kulihat juga melaksankan shalat , tak lama kemudian azan dikumandangkan , dan seorang khatib yang lain naik keatas mimbar.

Khatib yang baru ini khotbah bercampur bahasa arab sebagaimana layaknya khotbah di tempat kita (Indonesia) tetap dua khotbah berhenti sejenak dan hanya beberapa menit saja sudah selesai , dan dilanjutkan dengan shalat dua rakaat. Selesai lah sudah pelaksanaan shalat jumat hari itu.

Setelah itu barulah kutahu ternyata khotbah yang pertama dengan khatib yang lain tadi yang kukira adalah khotbah jumat bukanlah khotbah , itu hanyalah semacam ceramah sebelum khotbah. Menurut Ustadz Zenal Satiawan Lc , tuntunan shalat Jumat itu , ya seperti itu , lamanya bacaan khotbah, tidak lebih lama waktunya dari pada shalat itu sendiri.

Hem panteslah pak Sobirin tadi masih terus bercerita dengan ku . Dia tahu bahwa itu bukan khotbah , hanya ceramah biasa.
Jadi sangat beda sekali misalnya dengan di beberapa masjid di Batam. Jumat yang lalu khatib khotbah lebih 30 menit, sementara shalatnya tak sampai 5 menit. Banyak masjid di Malaysia pun berbuat hal yang sama dengan di Indonesia, khotbah berlama-lama dan shalatnya sendiri hanya sebentar.

Masjid Vietnam yang Dibangun 2 Negara


Masjid itu kini sudah dipugar, terlihat megah. Saat datang kesana dua tahun yang lalu tahun 2010, bangunan masjid yang sudah berdiri ratusan tahun itu di bongkar total. Kini, Masjidil Rahim demikian namanya dibangun kembali oleh dua negara, yaitu Indonesia dan Malaysia.

Masjid Rahim terletak di 45 Nam Ky Khoi Ngia Q1 Provinsi Ho Chi Min Saigon, Vietnam. Ada delapan masjid seperti masjid Rahim ini di kota Saigon. Yang menarik Imam masjid Rahim adalah orang Boyan (Bawean) , tetapi beliau tidak lahir di Indonesia. “Umur 10 tahun saya dibawa orang tua kesini dari Singapura” jelas tok Imam dengan suara agak bergetar. Usia tok Imam yang masih sehat ini sudah berkisar 70 an.

Disekitar masjid itu, ada beberapa keluarga kerabat tok Imam sesama warga Boyan yang dulu bersama orang tuanya datang ke Saigon mengadu nasib dari Singapura. Itulah mungkin, masjid ini pun disebut masjid Boyan.

Agak tersenyum kecut tok Imam saat kuajak bahasa ibundanya (Bawean), “Sudah tak faham lagi “ ujarnya kepadaku. Sambil berbincang, aku diajak tok Imam menemui isterinya, rumah tok Imam hanya berjarak pagar dengan masjid , Aku tak tahu apa yang dibicarakannya dalam bahasa Vietnam, mungkin agaknya tok Imam yakin betul kalau aku benar orang Boyan, jadi seakan mengingatkan beliau dengan leluhurnya.
Menikah dengan gadis Vietnam , sekitar 50 tahun yang lalu, tok Imam ini dikarunia 4 orang anak, tetapi tak seorang pun dari anak-anak beliau yang dapat berbahasa melayu. Tok Imam , suami isteri telah menunaikan ibadah haji .

Mana tahu ada waktu dan rezeki kalau anda berkunjung ke Ho Chi Min atau Saigon Vietnam, tanyalah masjid Boyan insyaAllah orang akan tunjuki tempatnya.

Di Vietnam Islam bukan lah agama yang asing , abad ke 11 hijrah berdiri kerajaan Islam yang termashur disana , yaitu kerajaan Melayu Champa. Champa termasuk kerjaan Islam awal di Nusantara , Champa yang terletak pertengahan Vietnam dan arah k e Selatan , ternyata banyak ditemui masjid tua , apalagi daerah yang berbatasan dengan Kamboja.

Aneksasi Vietnam terhadap kerajaan Islam Champa, dan perang saudara terus menerus , serta kuatnya pengaruh asing (Amerika dan Negara Timur sosialis lainnya) membuat umat Islam disana bertempiaran ke merata penjuru Indo china .
Jadi tak heran , seperti di Provinsi An Giang   baca : Masjid Kecil di An Giang Vietnam , kota kedua terbesar dan terbanyak penduduknya setelah Ho Chi Min ada masjid kecil yang sudah ratusan tahun usianya.

Dan diperbatasan antara Vietnam dan Kamboja , terutama di daerah Border , akan kita temui masjid – masjid tua, dan juga orang tua renta yang masih dapat bertutur bahasa melayu. Senang sekali mereka, melayani kita berkomunikasi dengan bahasa melayu , seperti halnya tok Imam Safei , yang menerima kami rombongan dari Malaysia dan Indonesia.

Kami pun senang dapat berkomunikasi dengan bahasa ibunda.

Komunitas Buddha Indonesia Minta Kasus Rohingya Dijauhkan Dari Unsur Agama


Budha di Indonesia ini masih juga bilang kalau itu bukan persoalan Agama, penindasan terhadap Islam bukan hanya terjadi di Rakhine saja, Ayo ketua Budha Indonesia anda kubawa keliling Myanmar untuk melihatnya.

Budha di Indonesia ini masih juga bilang kalau itu bukan persoalan Agama, penindasan terhadap Islam bukan hanya terjadi di Rakhine saja, Ayo ketua Budha Indonesia anda kubawa keliling Myanmar untuk melihatnya.


Konflik sektarian yang melibatkan Muslim Rohingya pecah di Myanmar. Komunitas pemeluk Buddha di Indonesia pun meminta agar kasus tersebut dijauhkan dari unsur agama.

“Secara khusus kami mendesak agar yang pertama, ketegangan yang terjadi segera dipulihkan dan dijauhkan dari unsur agama,” ujar pemuka agama Buddha, Bikkhu Dhammakaro Thera.

Hal itu disampaikan di Kantor Konferensi Agung Sangha Indonesia (KASI), Plaza Center, Jl Jenderal Sudirman Kav 47, Jakarta, Selasa (7/8) seperti dilansir detikcom.

Bikkhu Dhammakaro juga meminta pemerintah Myanmar segera memberikan status kewarganegaraan Myanmar secara penuh kepada komunitas Muslim Rohingya. Sebab Muslim Rohingya telah menetap selama puluhan bahkan ratusan tahun di negara Myanmar. Karena itu mereka berhak atas status kewarganegaraan yang sama dengan mayoritas warga Myanmar lain.

“Meminta pemerintah Myanmar memberi kemudahan kepada lembaga-lembaga bantuan dari luar Myanmar untuk memberikan bantuan kepada seluruh korban konflik tanpa memandang latar belakang agama,” harapnya.

Bikkhu Dhammakaro juga meminta pemerintah Myanmar aktif mempertemukan pemuka-pemuka agama untuk mempererat jalinan kerja sama, dalam menciptakan perdamaian. Myanmar pun diharap memenuhi permintaan itu dengan mempertimbangkan posisinya sebagai bagian dari komunitas ASEAN.

Zainal, pengurus Center of Asian Studies (Cenas) yang hadir dalam acara tersebut mengatakan wajar komunitas Buddha di Indonesia memperhatikan apa yang dialami Muslim Rohingya. Sebab hubungan Buddhis dan Muslim di Indonesia sangat harmonis.

“Selama ini menerapkan multikulturalisme dalam demokrasi di Indonesia khususnya dan Asia pada umumnya, lebih concern lagi di Asia Tenggara. Kami juga mengadakan riset yang diatuangkan dalma buku berjudul ‘Berpeluh Berselaras mengenai Harmonisasi Komunitas Buddhis-Muslim’,” paparnya.

Jo Priastana, cendekiawan Buddha yang juga hadir pun sepakat apa yang terjadi di Myanmar bukanlah persoalan agama. “Kasus kebijakan pemerintah dalam menangani problem sosial ekonomi dan sosial demografi,” terangnya.

Hal yang sama disampailan dr Dharma K Widya dari Majelis Agama Buddha Theravada Indonesia (Magabudhi). Disampaikannya, segala usaha kemanusiaan pasti akan didukung.

“Kita sebagai manusia mendukung semua upaya apapun demi mengurangi penderitaan sesama makhluk,” ucapnya.

Acara itu juga dihadiri Bikhu Jayamedho dari KASI, dr Metasari dari Wanita Theravada Indonesia (Wandani), Gunandana dari Majelis Tridharma Indonesia. Tanagus Dharmawan dari Pemuda Theravada Indonesia (Patria), dan Romo Sumedo dari Forum Dharmaduta DKI.

Kekerasan sektarian yang berlangsung di negara bagian Rakhine, Myanmar barat antara warga Buddha Rakhine dan muslim Rohingya telah menewaskan sekitar 80 orang sejak Juni lalu. Bahkan tiga orang tewas dalam kerusuhan yang kembali terjadi pada Minggu, 5 Agustus lalu.

Kekerasan itu dilaporkan dipicu oleh peristiwa pemerkosaan dan pembunuhan seorang wanita Buddha, yang berlanjut dengan pembunuhan 10 orang muslim Rohingya oleh massa Buddha yang marah.

Organisasi Kerjasama Islam (OKI) telah mengusulkan untuk mengirimkan misi OKI guna menyelidiki pembantaian muslim Rohingya tersebut.

Selama ini pemerintah Myanmar menganggap warga Rohingya yang tinggal di negeri itu sebagai warga asing. Sementara kebanyakan publik Myanmar menganggap mereka sebagai imigran ilegal dari Bangladesh dan memusuhi mereka.

Diperkirakan saat ini sekitar 800 ribu orang Rohingya tinggal di Myanmar. Selama beberapa dekade terus mengalami diskriminasi pemerintah Myanmar, warga Rohingya tidak memiliki kewarganegaraan. PBB pun menyebut mereka sebagai salah satu minoritas paling teraniaya di dunia.

Harga Kursi Wakil Rakyat Republik Indonesia


kerusi anggota banggar dpr yang akan datang...........

kerusi anggota banggar dpr yang akan datang...........

Tahukah anda 1 (satu) unit kursi alias kerusi bahasa di tempat kami, anggota banggar dpr di negara republika indonesia seharga rp. 27.000.000,-?

Sementara sebuah kerusi berikut dengan meja lipat di depannya yang dipakai murid SMK di tempat kami seharga rp. 270.000,-  merk FUTURA lumayan bagus kualitasnya. Satu kerusi anggota dpr yang katanya terhormat itu senilai 100 set kerusi siswa SMK di tempat kami.

Ruang banggar  senilai rp. 20.000.000.000,- terbilang : DUA PULUH MILIAR RUPIAH  itu kalau dijadikan kelas baru di tempat kami bisa dapat 138 ruang belajar dengan ukuran 8×9 m = 72 M2 atau dijadikan sekolah dengan rombongan belajar (rombel) 2 saja dengan 3 kelas bisa jadi 15 sekolah SMK .

8×9 = 72 M2 itu sudah cukup besar lho. Ruang yang kami pakai sekarang hanya 10 x 5 meter saja = 50 M2 . sudah nyaman karena kelas kecil .

1 ruang belajar ukuran 8 x 9 = 72 M2 (standar) Kemendiknas sekarang Kemendikbudnas .

harga per M di tempat kami untuk membangun sekolah = rp. 2.000.000,-

satu ruang 72M2 x rp. 2.000.000,- = rp. 144.000.000,-per ruang

rp. 20.000.000.000,- : rp. 144.000.000,- per ruang : 138.8 ruang

itu sudah lantai keramik anti gores  seharga rp. 65.000,- per meternya.  Pintu dan jendela terbuat dari kaca , kosen pintu dan jendela dari aluminium, rangka atap baja ringan dan atap dari spandek.

Kerusi jadi JEMURAN DI RUANG SIDANG DPRD...Batam

Kerusi jadi JEMURAN DI RUANG SIDANG DPRD..Batam

Ironis memang wakil rakyat republik indonesia ini, banyak sekali sekolah yang rusak, masih banyak siswa yang masih belajar di lantai, menumpang di masjid dan di gereja.

Tetapi mereka seenaknya saja mengeluarkan biaya untuk merenovasi ukuran yang hanya beberapa meter saja ber puluh puluh miliar.

Masih pantas kah mereka disebut terhormat?.

Semalam Di Medan


monumen guru patimpus

monumen guru patimpus

Tiga orang teman dari Malaysia yaitu Prof. Zulkifli, DR. Hasyim dan Ustadz Abdul Wahab sengaja datang ke Medan, akhir Mei kemarin. Agenda bertemu dengan Pak Din Syamsudin yang kebetulan akan menghadiri Ta’aruf pimpinan wilayah Muhammadiyah Sumatera Utara.

“Kalau boleh datang lah” tulis pak Wahab dalam SMS nya kepadaku. Pak Wahab tahu kalau aku berasal dari Medan meskipun kini tinggal di Batam. “Jadi boleh lah bawa kami” tulis pak Wahab lagi berbasa basi.

Malam itu kami menginap di Madani Hotel Medan, hotel ini terletak jalan Sisingamangaraja / Amaliun. Hotel Muslim pertama bintang empat di Medan dibawah manajemen syariah. Hotel yang terletak persis di depan Masjid Raya Al Ma’sum Medan ini mayoritas tamunya berasal dari Negara tetangga Malaysia.

Agaknya kedekatan antara Medan dengan Pulau Pinang Malaysia, hanya sekitar 25 menit dengan penerbangan low cost. Hotel Madani yang syariah dan terletak di tengah pusat kota ini benar-benar menjadi tempat alternative.

Terasa sekali suasa melayu di hotel itu, dari Sisha Lounge mengalunkan irama melayu. Bahkan tukang parkir semua berbicara dalam dialek melayu.

Guru Patimpus.

Guru Patimpus Sembiring Pelawi adalah orang yang dikenal sebagai pendiri Medan Sumatera Utara. Guru Patimpus lahir di Aji Jahe dataran tinggi Karo sekitar abad ke-16. Menikah dengan seorang putri Raja Pulo Brayan dan mempunyai dua anak lelaki. Guru Patimpus adalah pemeluk Agama Islam yang taat.

Setelah menikah, Guru Patimpus dan istrinya membuka kawasan hutan antara Sungai Deli dengan Sungai Babura yang kemudian menjadi Kampung Medan dan tanggal kejadian itu 1 Juli 1590 adalah sebagai hari jadi kota Medan.

Malam itupun kami nikmati penganan yang seleranya tak jauh beda. Mungkin racikan bumbu yang terasa lebih legit. Di Pujasera terletak samping kiri Hotel Madani. Menyajikan aneka makanan nusantara.

Sembari bercerita tentang Medan Jus Martabe yang dipesan telah datang. Martabe adalah istilah yang di populerkan oleh almarhum Gubernur Raja Inal Siregar. Martabe singkatan dari Marsipature hutana be yang berarti Membenahi Kampungnya Sendiri itu menjadi nama minuman campuran buah Markisa dengan Terong Belanda.

Rasa khas campuran kedua buah yang memang khas Medan ini rupanya menjadi minuman kesukaan teman-teman dari Malaysia.

Perut kenyang kami beranjak ke Hotel, terngiang obrolan tentang masjid yang di bongkar paksa oleh oknum TNI . Begitupun Gubernur SUMUT non aktif yang sedang tersandung kasus korupsi, kini terbaring sakit.
Mungkin dulu, tak terpikir oleh Guru Patimpus kota Medan seperti sekarang ini, sehingga tak lah beliau atau juriatnya menyiapkan tanah untuk pemakamannya.

Hinggalah kehari ini tak jelas dimana kubur Guru Patimpus pendiri kota Medan itu. Ada yang mengatakan, kubur Guru Patimpus di Kecamatan Hamparan Perak Deli Serdang dan kubur itu diketemukan pada bulan Juli 2010 yang lalu , jadi setelah 420 tahun berlalu

Rumah Singgah Anak Jalanan


anak penjual koran

anak penjual koran

“Datanglah pukul satu , selepas Juhur” ujar Imran AZ kepadaku melalui henponnya. Imran AZ adalah Ketua Lembaga Adat Melayu (LAM) kota Batam. Apa gerangan yang membuat runsing pria 60 an tahun ini?.

Sebagai Ketua LAM, Imran AZ yang lahir dan di besarkan di Belakang Padang ini, ditabalkan dan diberi gelar Datuk. Beliau kukenal  lebih dari 30 tahun, sama-sama “mencari makan” di Pertamina. Jadi paling tidak sedikit sebanyak, mengertilah aku akan nada bicaranya, mestilah ada yang perlu dibincangkan.

Aku pun acap  berkeluh kesah kepadanya, terutama soal Marwah Melayu,  dan kurasa pantaslah kalau keluh kesah itu disampaikan kepadanya, apalagi kini, karena bang Imran demikian aku memanggilnya, sedang menjabat sebagai yang dikedepankan selangkah, ditinggikan seranting  di bumi segantang lada ini.

“Adakan mereka nak minta SKB dua menteri” kataku mengadu kepada beliau, suatu waktu dulu, saat itu kami hendak mendirikan mushala kecil di Pulau Kubung.  Karena disitu telah berdiri terlebih dahulu sebuah rumah ibadah agama lain.

Penduduk yang mendiami pulau itu kini minoritas muslim, dari puluhan KK yang ada disitu hanya tinggal 7 KK lagi yang ber agama Islam.  Dan banyak lagi hal-hal lain yang menyangkut soal ke masyarakatan , sering kami bincangkan.

Mungkin agaknya karena itulah, Bang Imran mengajakku berembuk tengah hari itu. Dan benar belaka,  topik yang  kami bahas,  tak jauh-jauh juga dari penyakit masyarakat, yang kini sedang marak di Batam.

Anak Jalanan   

Jadilah tengah hari itu kami bertemu di lantai 3 kantor Walikota Batam. Kulihat  disitu hadir, Ibu Nurmadiah, dari pemberdayaan perempuan, pak Syahrir  dari dinas sosial,  ada juga pak Munir dari Kepolisian, pak Zulhendri Satpol PP, dan beberapa orang lainnya.

“Saya kurang  setuju dengan istilah anak jalanan” cetus ibu Nurmadiah ” Mereka adalah anak-anak yang butuh perhatian” jelasnya lagi.  Meskipun Anak – anak butuh perhatian ini , sering membuat onar dan menggangu ketertiban umum. Mengamen dan sex bebas hal biasa bagi mereka.

Kami dari pihak Kepolisian pun serba salah, “Melarang anak-anak di usia sekolah dan jam sekolah menjual koran, kita malah diberitakan oleh pihak pemilik Media”  kata pak Munir menimpali. “Bahkan bukan hanya dari pihak Media saja, banyak pihak sekarang yang mengatasnamakan HAM, kalau anak-anak yang di eksploitasi itu “diamankan” tambahnya lagi.

“Kami pun sudah berbuat ada pusat rehabilitasi, tahun 2010 ada 300 orang yg sudah dibina, tahun ini hanya sekitar 30 orang saja ” kata pak Syahrir pula. Tahun 2011 ini anggaran yang disetujui hanya sebanyak itu saja. Lagian tempat pusat rehabiltasi itu jauh dari pusat kota, di Nongsa sana. Anak-anak Punky yang kini membuat club bernama The Lengket itu tak betah jauh dari pusat keramaian.

Rumah Singgah  

Apa yang telah dibuat tak menambah surut keberadaan anak-anak bermasaalah ini, meskipun telah ada Perda dibuat, pengemis dan gelandangan masih tetap bergentayangan .

Menurut informasi ada sebuah rumah singgah, yang menampung anak jalanan ini. Rumah Singgah  yang satu ini terletak di pusat keramaiaan, tak jauh dari Hotel Planet Holiday, kesitulah sebagian anak-anak butuh perhatian itu, benar-benar singgah. Hampir semua anak2 itu beragama Islam. Rumah singgah itu pula di kelola oleh non Muslim. Konon kabarnya, disitu diajarkan juga tentang agama, tentu saja sesuai agama yang dianut oleh si pengelola rumah singga tersebut.

Agak  miris  rasanya mendengar pemaparan tentang konsep rumah singgah ini,  jadi teringat soal populasi umat Islam di Batam, kalau data ini memang valid. Yaitu, tahun 1985 umat Islam di Batam sekitar 93,8 % dan tahun 2010  tinggal 72 % saja lagi.

Di Pulau – Pulau sekitaran Batam ataupun pinggiran Batam banyak berdiri sejenis Rumah Singgah ini, ada yang mereka beri nama  Pondok .

Penduduk yang dulunya Nomaden itu,  kini bermukim dan dimukimkan di perkampungan perkampungan yang hingga kini belum teraliri listrik itu, gencar didatangi tamu-tamu dari luar Batam.  Tak susah menarik mereka simpati kepada si pembawa “warta”  dengan bahasa yang sederhana dan logika.

Seperti ini misalnya,  “Anda cukup sekali saja dalam satu minggu sembahyang, di jamin masuk surga, dari pada 5 kali sehari semalam, belum tentu masuk surga, pilih mana?” .  Bisa – bisa yang lima kali malah masuk neraka wil , Fawailullil mushalin 

Tentu saja pilihan jatuh kepada yang sekali sepekan, apalagi waktunya bisa diatur sendiri, mau pukul delapan atau pukul 10 pagi, atau agak sorean dikit,  tidak harus pagi pagi buta, dikala ayam mulai berkokok,  lagi  enak2an tidur. Bukankah yang bangun pagi pagi itu adalah pembantu rumah tangga.?

Itulah yang terus dicekokin kepada mereka yang masih awam dalam beragama dan sungguh-sungguh  masih lemah dalam aqidah.

Siapa gerangan yang bisa mengkaounter perang pemikiran seperti itu?, mengatakan kepada penduduk yang sekarang sudah menetap dan tak nomaden itu lagi,  bahwa 5 kali sehari semalam saja belum di jamin apalagi sekali sepekan. Siapa pula yang menjelaskan bahwa Tuhan itu Allah , tidak beranak dan tidak diperanakkan.

Agaknya siapa yang bersedia dan berlapang waktu, memberitahukan kepada mereka bahwa Allah itu satu, Ahad,  sejak awal, sejak manusia pertama diciptakan – Adam as – hinggalah kini dan akhir zaman,  tidak dua, apalagi  tiga.

Tak tahulah,  apakah rumah singgah yang kami usulkan itu, rumah singgah untuk menampung anak2 butuh perhatian, terutama perhatian masaalah aqidah sebagaimana yang di runsingkan Datuk Imran AZ,  dapat diwujudkan. Wallahu a’lam .