Lama juga tidak mengunjungi pak Manan, menyesal betul rasanya hati ini. Padahal bulan lalu, aku melewati kampung pak Kosot demikian pak Manan lebih dikenal. Kosot lelaki tua, tinggal di kampung Sadap Kelurahaan Rempang Cate, jembatan empat.
Petang Selasa (4/2), M. Nur dari Batam Pos, mengajakku keperkampungan Suku Asli yang masih tersisa di Batam. Dan suku Asli dimaksud itu adalah pak Kosot. Keesokan harinya, Rabu pagi (5/2) kami berangkat, ke Rempang, jalan Bumi Melayu demikian tertera nama jalan masuk ke kampung Sadap tempat pak Kosot bermastautin.
Jalan tanah, masuk ke kampung Sadap itu kini tengah diperbaiki, bekas gusuran tanah, terlihat sebagian masih menumpuk disebelah kiri kanan jalan, termasuklah menutupi jalan masuk ke rumah pak Kosot.
Sewaktu tahun 2010, aku datang ke tempat pak Kosot dengan speda motor, tidak bisa berkenderaan roda empat, karena ada sungai kecil yang jembatannya rusak tidak bisa dilalui.
Perbaikan jalan masuk itu, rupanya, karena diujung kampung Sadap, puluhan hektar lahan yang melalui tempat tinggal pak Kosot, kini telah menjadi kebun buah Naga dan Semangka.
Tahun 2010 kami mendirikan sebuah mushala kecil persis di jalan masuk ke rumah pak Kosot, pernah juga seorang Dai dari AMCF tinggal disitu. Lokasi tanah untuk mushala itu wakaf dari pak Kosot.
Pak Kosot tinggal bersama isterinya, namanya mak Lilin, di gubuk kecil berdinding bambu yang dibilah bilah. Mak Lilin sudah beberapa tahun tak bisa lagi berjalan, lumpuh, karena penyakit tua.
Telaten sekali pak Kosot merawat isterinya itu, semua keperluan, sampai buang air besar mak Lilin, di gubuk yang hanya berukuran 2 x 3 meter itu, dilayani pak Kosot.
“Tok perempuan sudah meninggal 30 hari yang lalu” kata Kumalasari perempuan beranak dua, yang datang menyambut kami, setiba digubuk pak Kosot. Kumalasari adalah cucu pak Kosot.
Itulah rasa penyesalan bagiku, mengapa tak sempat mampir. Waktu itu, memang keburu hari sudah beranjak petang, pulang ziarah dari kampung Teluk Nipah Galang Baru, perkampungan suku laut di jembatan enam. Ternyata pada hari aku ingin singgah itu, isteri pak Kosot, mak Lilin, meninggal dunia.
Tiga bulan sebelumnya pula, anak pak Kosot yang rumahnya berdampingan dengan mushala meninggal dunia, sementara anak dan isteri dari almarhum pula pindah ke kampung lain, bertambah sepilah kampung itu.
Pak Kosot kini tak larat lagi berjalan, sewaktu kami ajak duduk keluar dari gubuknya, dengan bertongkatkan sebatang kayu, pak Kosot tertatih tatih, badannya bertambah kurus, kakinya kurus mengecil tinggal kulit pembalut tulang, susah nak diluruskan, persis kondisi isterinya waktu dulu.
Banyak yang kami ceritakan, nyaris persis apa yang diderita mak Lilin tempohari, itulah pula yang dialami dan diderita oleh pak Kosot sekarang, cucunya Kumalasari gantian mengantarkan lauk apa ada nya, kalau nasi, pak Kosot masih bisa memasak, dia melaksanakan itu dengan merangkak.
Hingga Juhur kami disana, shalat juhur di mushala, semak terlihat merayap di dinding mushala, bagian dalam pula lantainya berdebu, dipenuhi kotoran burung dan serangga, atap sebelah imam, sengnya terlepas, bekas bocoran hujan merusak plafond yang sudah lapuk. Battrey solar cell, tak ada ditempatnya, hilang raib entah kemana. Tandon air kapasitas 1000 liter warna orange, pecah nyaris terbelah dua. Tak ada lagi yang mengurus mushala.
Tengah hari itu, kami tinggalkan kampung Sadap, menuju kampung Rempang, kami berjumpa dengan pak Lurah, Pak Lurah Kelurahan Rempang Cate, di petang menjelang ashar pak Lurah masih berada di kantornya, kami titipkan mushala itu kepadanya, kepada pak Lurah yang baru tiga bulan menjabat, jadi belum bisa berbuat.
Data akurat jumlah penduduk Kelurahan yang diminta M Nur agak sulit di dapat. Begitulah, “saya baru 3 bulan jadi Lurah disini” ujar pak Lurah asal Natuna ini.
Jadi terpikir alangkah baiknya di kampung – kampung seperti Sadap, Terung, Panjang, Galang, Karas, kampung kampung tua lainnya di sekitar Batam ini, tidak dijadikan Kelurahaan, kembalikan ke Desa, ada kepala Kampung atau kepala Desa yang benar-benar tahu kondisi daerahnya, kehidupan masyarakatnya.
Kisah pak Kosot dan keluarganya yang hampir punah, bahkan kampungnya pun kini tinggal “sejengkal” saja, insyaallah tak akan terjadi.
Banyak lagi yang seperti pak Kosot dan mak Lilin, Suku Asli Batam yang berganti aqidah, karena kebijakan Desa menjadi Lurah.
Bagaimana mungkin mereka bisa faham, para Lurah – Lurah itu, mereka jauh tinggal puluhan kilometer dari orang kampung yang diurusnya.
Kembalikan kelurahan itu ke desa seperti semua, dipimpin tok Batin yang memang tahu dan faham seluk beluk, adat istiadat warganya. Dan kembalikan status tanah ulayat mereka. (*)
Filed under: agama, berita, budaya, cari duit, catatan harian, dakwah, Dunia Islam, indonesia, internet, islam, Lain-Lain, pemko batam, sejarah, sekolah, suku laut | 2 Comments »