Sekelumit Kisah Yusuf Pelaut Muslim Asal Indonesia di Vietnam


SONY DSC
Hampir setahun bekerja di kapal cargo bendera Malaysia, Yusuf namanya, pria 24 tahun asal Bogor Indonesia ini menjabat sebagai 2nd Chief Enginer di kapal kapasitas 2.000 ton yang mengangkut beras dari Vietnam ke Malaysia. ( https://www.facebook.com/silobakj )

“Selama ini saya kalau Jum’atan ke Cou Doc, sekitar 2 jam naik speda motor sewa dari tempat kapal bersandar ” ujar Yusuf . “Khotbahnya pakai tiga bahasa, melayu, kamboja dan vietnam”.tambah Yusuf lagi.

Cou Doc adalah satu kota terbanyak populasi muslimnya di seluruh Vietnam negeri Komunis yang beribukota di utara Ha Noi, tetapi kota terbesar dan terbanyak jumlah penduduk ada di selatan yaitu Ho Chi Min (dulu Saigon).
SONY DSC
Cou Doc masuk dalam provinsi An Giang, provinsi kedua terbesar setelah Ho Chi Min. Provinsi ini berbatasan langsung dengan Phom Penh Kamboja, bahasa di kedua negeri itu nyaris sama, mereka menggunakan bahasa Champa.

Petang kemarin Jumat (26/4) Yusuf kembali mengunjungi Masjid Salamad di An Giang, menjelang magrib Yusuf baru bisa turun dari kapalnya. “Jadi tidak jum’atan Ki” kata Yusuf. ” saat kutanya pakai bahasa apa dan siapa khatib shalat jum’at di Masjid Salamad itu.

Yusuf yang memanggilku Aki ini baru tahu kalau dari tempat kapalnya bersandar, ada sebuah masjid melalui blog pribadiku https://imbalo.wordpress.com/2012/10/02/masjid-kecil-di-an-giang-vietnam/ Jutaan penduduk kota itu, tak sampai sepuluh keluarga orang muslimnya, dan hanya Masjid Salamad yang mau rubuh itu saja ada rumah ibadah bagi orang Islam disana.
SONY DSC
Tiga tahun belakangan ini pemerintah komunis Vietnam telah membuka diri, terutama terhadap kegiatan islam, seperti jamaah haji misalnya, mereka sudah bisa mengirimkan sendiri langsung dari vietnam , selama ini melalui Thailand atau Malaysia.

Pelajar yang mau belajar Islam dulu tidak diizinkan, kalau mau juga dengan diam diam dan harus menukarkan kewarganegaraannya dengan warga negara Kamboja, kini mahasiswanya telah direstui dan diizinkan menggunakan pasport Vietnam.

Imam masjid Salamad bernama Sholeh, saat kami kunjungi tahun 2012 lalu bersama rekan dari Yayasan Amal Malaysia ( https://www.facebook.com/yayasanamal.malaysia?fref=ts ), mereka sekeluarga belajar Islam melalui internet, menitik air mata saat beliau membaca surat Fatiha, dalam shalat magrib berjamaah yang diimaminya, terdengar tidak sebagaimana lazimnya kita membaca.
Lokasi tanah bangunan masjid itupun kini diincar oleh investor.

” Kaca sebelah selatan masjid sudah pecah Ki” ucap Yusuf kepadaku melalui whatsapp.

Dan Yusuf pun mengirimkan gambar masjid yang sudah tambah reot itu, ibah hati melihatnya.
Kukatakan kepada Yusuf disela sela kesibukannya , agar bisa meluangkan waktunya mengunjungi keluarga Imam Sholeh untuk mengajarkan Quran kepada mereka.

Dua anak pak Sholeh dari 4 bersaudara sudah menikah, nyaris tak bisa membaca al-Quran. Cucu-cucu nya pun sudah mulai masuk usia sekolah.

“Insyaallah Ki” kata Yusuf terkadang kami ngobrol dengan bahasa sunda, rupanya Yusufpun sudah rindu pulang ke kampung halamannya………..

Moga-moga ada pelaut pelaut lain seperti Yusuf yang membaca postingan ini mampir ke sana ke masjid Salamad.Dan ada pula para aghniya yang berkenan membantu untuk merenovasi masjid yang sudah reot itu….????
Kang Arief Darmawan (https://www.facebook.com/arief.darmawan.693?fref=ts) ,tadinya kami sangat berharap satu dari putra Imam Sholeh ini dapat belajar di Mahad Said bin Zaid Batam tapi bagaimana lagi kondisinya seperti itu.

Sriotide Marbun, (https://www.facebook.com/sriotide.marbun?fref=ts) bantu bang melalui Konjen RI di Saigon, kalau dari Ha Noi kejauan…

Pak Kosot Suku Asli Batam Terakhir Dari Kampung Sadap ?


1662745_794192770594796_237297810_nLama juga tidak mengunjungi pak Manan, menyesal betul rasanya hati ini. Padahal bulan lalu, aku melewati kampung pak Kosot demikian pak Manan lebih dikenal. Kosot lelaki tua, tinggal di kampung Sadap Kelurahaan Rempang Cate, jembatan empat.

Petang Selasa (4/2), M. Nur dari Batam Pos, mengajakku keperkampungan Suku Asli yang masih tersisa di Batam. Dan suku Asli dimaksud itu adalah pak Kosot. Keesokan harinya, Rabu pagi (5/2) kami berangkat, ke Rempang, jalan Bumi Melayu demikian tertera nama jalan masuk ke kampung Sadap tempat pak Kosot bermastautin.

Jalan tanah, masuk ke kampung Sadap itu kini tengah diperbaiki, bekas gusuran tanah, terlihat sebagian masih menumpuk disebelah kiri kanan jalan, termasuklah menutupi jalan masuk ke rumah pak Kosot.

Sewaktu tahun 2010, aku datang ke tempat pak Kosot dengan speda motor, tidak bisa berkenderaan roda empat, karena ada sungai kecil yang jembatannya rusak tidak bisa dilalui.
Perbaikan jalan masuk itu, rupanya, karena diujung kampung Sadap, puluhan hektar lahan yang melalui tempat tinggal pak Kosot, kini telah menjadi kebun buah Naga dan Semangka.62372_794215403925866_257959204_n

Tahun 2010 kami mendirikan sebuah mushala kecil persis di jalan masuk ke rumah pak Kosot, pernah juga seorang Dai dari AMCF tinggal disitu. Lokasi tanah untuk mushala itu wakaf dari pak Kosot.

Pak Kosot tinggal bersama isterinya, namanya mak Lilin, di gubuk kecil berdinding bambu yang dibilah bilah. Mak Lilin sudah beberapa tahun tak bisa lagi berjalan, lumpuh, karena penyakit tua.
Telaten sekali pak Kosot merawat isterinya itu, semua keperluan, sampai buang air besar mak Lilin, di gubuk yang hanya berukuran 2 x 3 meter itu, dilayani pak Kosot.

“Tok perempuan sudah meninggal 30 hari yang lalu” kata Kumalasari perempuan beranak dua, yang datang menyambut kami, setiba digubuk pak Kosot. Kumalasari adalah cucu pak Kosot.

Itulah rasa penyesalan bagiku, mengapa tak sempat mampir. Waktu itu, memang keburu hari sudah beranjak petang, pulang ziarah dari kampung Teluk Nipah Galang Baru, perkampungan suku laut di jembatan enam. Ternyata pada hari aku ingin singgah itu, isteri pak Kosot, mak Lilin, meninggal dunia.

Tiga bulan sebelumnya pula, anak pak Kosot yang rumahnya berdampingan dengan mushala meninggal dunia, sementara anak dan isteri dari almarhum pula pindah ke kampung lain, bertambah sepilah kampung itu.

Pak Kosot kini tak larat lagi berjalan, sewaktu kami ajak duduk keluar dari gubuknya, dengan bertongkatkan sebatang kayu, pak Kosot tertatih tatih, badannya bertambah kurus, kakinya kurus mengecil tinggal kulit pembalut tulang, susah nak diluruskan, persis kondisi isterinya waktu dulu.

Banyak yang kami ceritakan, nyaris persis apa yang diderita mak Lilin tempohari, itulah pula yang dialami dan diderita oleh pak Kosot sekarang, cucunya Kumalasari gantian mengantarkan lauk apa ada nya, kalau nasi, pak Kosot masih bisa memasak, dia melaksanakan itu dengan merangkak.

Hingga Juhur kami disana, shalat juhur di mushala, semak terlihat merayap di dinding mushala, bagian dalam pula lantainya berdebu, dipenuhi kotoran burung dan serangga, atap sebelah imam, sengnya terlepas, bekas bocoran hujan merusak plafond yang sudah lapuk. Battrey solar cell, tak ada ditempatnya, hilang raib entah kemana. Tandon air kapasitas 1000 liter warna orange, pecah nyaris terbelah dua. Tak ada lagi yang mengurus mushala.

Tengah hari itu, kami tinggalkan kampung Sadap, menuju kampung Rempang, kami berjumpa dengan pak Lurah, Pak Lurah Kelurahan Rempang Cate, di petang menjelang ashar pak Lurah masih berada di kantornya, kami titipkan mushala itu kepadanya, kepada pak Lurah yang baru tiga bulan menjabat, jadi belum bisa berbuat.

Data akurat jumlah penduduk Kelurahan yang diminta M Nur agak sulit di dapat. Begitulah, “saya baru 3 bulan jadi Lurah disini” ujar pak Lurah asal Natuna ini.

Jadi terpikir alangkah baiknya di kampung – kampung seperti Sadap, Terung, Panjang, Galang, Karas, kampung kampung tua lainnya di sekitar Batam ini, tidak dijadikan Kelurahaan, kembalikan ke Desa, ada kepala Kampung atau kepala Desa yang benar-benar tahu kondisi daerahnya, kehidupan masyarakatnya.

Kisah pak Kosot dan keluarganya yang hampir punah, bahkan kampungnya pun kini tinggal “sejengkal” saja, insyaallah tak akan terjadi.

Banyak lagi yang seperti pak Kosot dan mak Lilin, Suku Asli Batam yang berganti aqidah, karena kebijakan Desa menjadi Lurah.

Bagaimana mungkin mereka bisa faham, para Lurah – Lurah itu, mereka jauh tinggal puluhan kilometer dari orang kampung yang diurusnya.

Kembalikan kelurahan itu ke desa seperti semua, dipimpin tok Batin yang memang tahu dan faham seluk beluk, adat istiadat warganya. Dan kembalikan status tanah ulayat mereka. (*)

Pulau Bulang Lintang Batam Indonesia


1488247_770456819635058_691531731_nMasih banyak warga Batam belum tahu mengapa Stadion Olah Raga di Muka Kuning diberi nama Tumenggung Abdul Jamal.
Seorang Tumenggung Kesultanan Johor Riau Lingga yang bernama Abdul Jamal itu,  dulu, bermastautin di Pulau Bulang Lintang ini , makam beliau masih terawat dengan baik.

Konon tempat kediaman sang Tumenggung, dibakar habis oleh Belanda.1499550_770464699634270_167991463_n

Kalau kita kesana, disekitar komplek pemakaman keluarga Tumenggung,  banyak terlihat batu nisan yang sudah berumur ratusan tahun.
Pulau Bulang Lintang dulu sebagai pusat perwakilan kerajaan, kini hanya sebuah desa sepi, meskipun pemerintah Batam menetapkan Pulau ini sebagai ibukota kecamatan Bulang, tetapi pak Camat tak mau berdiam di pulau ini lagi.

Petang 22/12/ 2013 yg lalu, kami mengunjungi Pulau itu lagi, bersama dengan kami ikut beberapa teman dari Kepulauan Sulu atau Jolo Selatan Piliphina, namanya Prof. Neldy Jolo, beliau seorang ahli sejarah Melayu.

Dari Pelabuhan Sagulung Batam ke tempat itu naik speadboat hanya 15 menit saja, dan ongkosnya 10 ribu rupiah perorang.1524963_770464932967580_1012706146_n
Di Batam, kini ratusan pelajar dari berbagai negara Asean, Piliphina, Kamboja, Vietnam, Thailand, Malaysia, tentu saja dari Indonesia lebih banyak, ikut bersama kami. Mereka sedang menuntut ilmu di Mahad Said bin Zaid. Mendengar tutur bahasa mereka menjadi keunikan tersendiri. (imbalo)

Umat Islam Sumbar Bersatu Tolak Investasi Bermuatan Missi Pemurtadan


Catatan Perjalanan Mengunjungi Sumatera Bagian Utara (Sumbagut) Aceh, Sumut, Sumbar dan Riau

Masjid ini terletak di tengah-tengah Pasar Raya Padang.

Masjid ini terletak di tengah-tengah Pasar Raya Padang.

Setelah mengunjungi Aceh, Buletin Jumat (BJ), kembali ke Medan,tidak ada jalan alternatif yang lebih baik, selain via Medan, bila harus ke Padang dengan bus umum. Dari Medan dengan Bus ALS, sengaja BJ pesan Bus Super Executive 2-1, dengan tiket sebesar rp. 280.000,- berangkat sekitar pukul 17.00 wibb petang, tiba di Padang keesokan harinya menjelang juhur.

Hari itu Kamis, 28 Nopember 2013. ribuan orang sedang bersiap demontrasi, dimulai dari masjid Nurul Iman Masjid Raya Padang. Mereka menuntut agar izin pendirian pusat pemurtadan itu dibatalkan.

Rancak Bana, Universitas Andalas & Aisyiah Kembalikan Bantuan Lippo

Aisyiah adalah organisasi perempuan tertua di Indonesia , kiprahnya sudah tak terbilang banyaknya, jauh sebelum ada negara yang bernama Indonesia ini. Aisyiah dan Muhammadiyah adalah dua ormas yang berbeda tapi satu.

Pengalaman dalam pelayanan masyarakat seperti pendirian balai pengobatan untuk ibu dan anak, Rumah Sakit dan yang menyangkut kesehatan, nyaris ada diseluruh provinsi di Indonesia. Di Sumatera Barat organisasi ini cukup berkembang, di negeri kelahiran Buya Hamka ini pula Islam sangat kental, kalimat seperti “Adat bersendikan sarak, sarak bersendikan Kitabullah”. Kitabullah itu sendiri adalah Al Quran.

Dan daerah ini rupanya sudah lama menjadi target kristenisasi, dengan membuat injil berbahasa daerah setempat contohnya, walaupun hanya berapa gelintir saya “gembala” disana.

Siapa lagi yang dituding kalau bukan James Riyadi dengan group Lipponya. Mereka pun berusaha membuat sebuah pelayanan masyarakat sebagaimana yang telah dibuat oleh Aisyiah dan Muhammadiyah, yaitu Rumah Sakit.

Rupanya mereka dapat persetujuan penggunaan lokasi milik pemerintah oleh yang sedang berkuasa disana, maka jadilah peletakan batu pertama investasi Lippo Superblock di Jl Khatib Sulaiman benar-benar di lokasi yang strategis di pusat kota itupun dilaksanakan, Jumat, 10 Mei 2013 yang lalu.

Itu ditandai dengan pemencetan sirine oleh Ketua DPD RI Irman Gusman, Gubernur Sumbar Irwan Prayitno, Walikota Padang Fauzi Bahar, Menko Kesra Agung Laksono, Kepala BNPB Syamsul Maarif, Preskom Lippo Group James T Riyadi, Presiden Lippo Theo Sambuaga, mantan Gubernur Sumbar Azwar Anas dan Ketua Dewan Syuro Hilmi Aminuddin.

Aisyiah pun mendapat bantuan dari group ini berupa uang sebesar 50 juta rupiah. Bukan Aisyiah saja Fak. Kedokteran Andalas pun diberikan juga.
Dan kedua lembaga ini telah mengembalikan uang bantuan tersebut. Karena Beberapa hari setelah peletakan batu pertama, langsung muncul penolakan dari berbagai Ormas Islam atas investasi Lippo Group itu.

Pemicunya, karena James T Riyadi disinyalir memiliki agenda besar berupa misi misionaris dengan sasaran masyarakat Minangkabau. Hal itu didasari latar belakang James Riyadi sebagai pengusaha yang menjadi misionaris nomor satu di Indonesia.

Dugaan itu juga didukung oleh banyak informasi di berbagai media, baik di internet dan banyak literature buku. Apalagi di sejumlah daerah investasi yang sama juga ditolak karena persoalan yang sama.

Penolakan dari Ormas Islam itu pun terus membesar seperti bola salju. Sebagai dampaknya, hingga kini investasi senilai Rp1,2 triliun itu belum bergerak sama sekali.

Penolakan Proyek Pemurtadan Tak Digubris Walikota dan Ketua DPRD Padang

Semak pun telah tumbuh dan meninggi di lahan seluas lebih kurang 1,5 hektar tersebut. Para pendemo tetap akan menuntut Walikota Padang mencabut izin investasi / pembangunan RS Siloam. Pasalnya izin investasi tersebut melanggar Perda No 4 Tahun 2012, pasal 70 tentang pengembangan kawasan Jl Khatib Sulaiman dan Jl Sudirman yang diperuntukan untuk pengembangan perkantoran Pemerintah Provinsi Sumatera Barat.

Namun ternyata Walikota Padang Fauzi Bahar menerbitkan izin untuk pengembangan perdagangan dan jasa di Jl Khatib Sulaiman kepada Lippo Superblock yang terdiri dari RS Siloam, Lippo Mall, Hotel Aryaduta dan Sekolah Pelita Harapan.

Padahal MUI dan Ormas Islam telah tegas-tegas menyatakan bahwa di balik investasi itu terdapat misi misionaris yang dapat membahaya kan akidah anak cucu umat Islam Minangkabau. Tapi Walikota Padang Fauzi Bahar dan Ketua DPRD Padang Zulherman bergeming dan bahkan mati-matian mempertahankan investasi milik pengusaha J Riady itu.

Group FB Tolak Pemurtadan

Meskipun, berita tentang demo akbar umat Islam di Kota Padang, Kamis (28/11) yang menolak investasi RS Siloam dan Lippo Superblock diboikot nyaris oleh semua televise, media cetak dan media online nasional, namun hal itu tidak membuat para ulama dan Ormas Islam mati langkah dan kehilangan akal. Diduga berita tersebut tidak dimuat, karena nyaris semua media nasional di Indonesia dikuasai oleh non mulim.

Karena itu, selain memaksimalkan pemberitaan melalui beberapa Koran lokal yang selama ini masih tetap berimbang menyajikan pemberitaan tentang RS Siloam, MUI dan Ormas Islam juga memanfaatkan media sosial online berupa group facebook dengan nama “Umat Islam Sumatera Barat Bersatu Menolak Investasi Pemurtadan”.
Dalam kurun waktu beberapa hari saja pengikut group Facebook itu langsung membeludak. Jumlah anggota pengikut group tersebut telah mencapai puluhan ribu orang. Mereka berasal dari Sumatera Barat dan luar Sumatera Barat.

Di group ini pun diumumkan secara terbuka jumlah sumbangan yang terkumpul untuk keperluan aksi penolakan terhadap investasi RS Siloam dan Lippo Superblock.
Sumbangan yang terkumpul pun cukup banyak, mendekati angka Rp100 juta. Di group itu dijelaskan, sumbangan dapat dikirimkan ke rekening BRI Padang, atas nama Yeyen Kiram, No Rekening: 5474-01-005700-53-2. (berbagai sumber)

Kisah Tok Lambertus Laba Masuk Islam


tok laba dan tok Nur melaksanakan shalat pertama kali setelah masuk Islam

tok laba dan tok Nur melaksanakan shalat pertama kali setelah masuk Islam

NAMANYA Lambertus Laba, lahir di Lembata Flores, sejak muda lagi telah meninggalkan kampung halamannya. Tok Laba demikian dia disapa oleh cucu-cucunya, bahkan orang tua ini telah punya beberapa orang cicit. Laba, nama marga suku di Nusa Tenggara Timur sana.

Kamis 31 Oktober 2013 di rumah nya yang sederhana, rumah diatas laut, perkampungan SUKU LAUT, Pulau Lingka Batam, tok Laba yang sepanjang usianya adalah penganut Katolik, mengucapkan Dua Kalimat Syahadat meskipun dengan terbatah-batah. “Tiada Tuhan Selain Allah, dan Muhammad adalah Rasul Allah” ucap tok Laba, maklum tok Laba dua kali diserang strok. Sejak mengucapkan Syahadat, nama tok Laba berubah, diganti menjadi Muhammad Laba.

Rumah tok Laba di Pulau Lingka Bersama anak , menantu dan cucu cucu tok Laba

Rumah tok Laba di Pulau Lingka Bersama anak , menantu dan cucu cucu tok Laba

Apa gerangan yang mempengaruhi tok Laba berubah keyakinan? Ternyata cucu-cucunya yang telah terlebih dahulu ber-agama Islam.
Setiap hari, berangkat dan pulang mengaji di surau kecil di belakang rumah panggung mereka, cucu-cucu tok Laba acap dan mesti menyalami kedua orang tua itu.

Demikan pula ketika sang cucu hendak pergi shalat, sang Atok pun diajak dan ditanya. Rupanya sapaan dan ajakan untuk pergi shalat bersama oleh sang cucu yang comel itu dapat mengugah hati tua tok Laba.

tok Laba , tok Nur

tok Laba , tok Nur

Tengah hari itupun bersama tok Laba, tok Nur isteri yang telah dinikahi oleh tok Laba hampir 50 tahun lalu, ikut bersama berikrar, bahwa, Tuhan mereka kini Allah, Satu, tidak Tiga, tidak beranak dan tidak diperanakkan dan tidak ada sekutu baginya. Tok Nur, meskipun dilahirkan di sampan diberi nama Nur Mardiah, sehingga saat mengulang ucapan Dua Kalimat Syahadat, tak harus berganti nama.

Tok Nur adalah perempuan suku Laut yang lugu, terlahir dan besar hinggakan tua bersama dengan sukunya. Suku Laut seperti tok Nur ini, banyak mendiami perairan Batam, mereka memakai adat istiadat Melayu, seperti panggilan tok.

Ratusan bahkan mungkin ribuan keluarga seperti tok Nur ini, mereka tak terjamah dakwah, yang mereka terima malah info dan cerita salah, bahwa suku Laut tak beragama, sehingga bebaslah para misionaris menggarap mereka.

Hal yang perlu diluruskan bahwa Suku Laut yang ada di perairan Batam bukan tidak beragama, kita bisa merujuk perang saudara antara Laksamana Lingga dgn Laksamana Bintan, kisah mangkatnya Sultan Mahmud II dan tidak adanya yang mengajari mereka tentang agama Islam itu yang membuat mereka demikian.

Buktinya, Ustadz Beny yang kini menetap disitu dengan tekun membimbing dan menuntun mereka, keluarga suku laut yang ada di Pulau Lingka itu.
Meskipun tak jauh dari kediaman tok Laba ada gereja besar dan megah, hati tok tok berdua, luluh dan lebih memilih Islam, melihat akhlak cucu-cucu mereka, san cucu tetap hormat dan sayang, walau berlainan agama. (Imbalo)

Teman Dari Swedia


MASJID FITTJA STOCKHOLM SWEDIA : Sejarah mencatat, suara azan pertama kali terdengar keluar masjid dengan pengeras suara. Sementara Dewan Masjid Indonesia (DMI) akan mengusulkan, membatasi pemakaian  pengeras suara keluar masjid.

MASJID FITTJA STOCKHOLM SWEDIA : Sejarah mencatat, suara azan pertama kali terdengar keluar masjid dengan pengeras suara. Sementara Dewan Masjid Indonesia (DMI) akan mengusulkan, membatasi pemakaian pengeras suara keluar masjid.

Puluhan tahun menetap di Swedia, rindu kampung, itulah yang dirasakan oleh Ronnee Hadji Abdulrahman.

Juni 2012, persis setahun yang lalu, kami berkenalan melalui jejaring sosial facebook. Pria beranak tiga ini bekerja sebagai teknisi di Swedia.
Sering membaca tulisan Buletin Jumat (BJ) di web, tentang perjalanan BJ ke Thailand, terutama ketiga tempat wilayah komplik daerah Selatan, Patani, Yala dan Narathiwat.

Ronnee, yang berasal dari Patani itu, menganjurkan anak lelakinya berlibur ke Batam. Safovan (16 tahun), berangkat dari Stockholm-Phuket. Di Phuket dia bertemu dengan neneknya, yang tinggal di Patani (Phuket-Patani sekitar 500 KM) Safovan, remaja pecinta sepakbola ini langsung ke Batam. Menginap dirumah kami.

BJ beberapakali kerumah ke luarga Ronnee di Patani, Ronnee sudah menetap di Swedia sejak menikah duapuluh tahun yang lalu, Ia berharap anaknya bisa berbahasa Indonesia dan jangan sampai melupakan budaya Melayu (Islam). “Saya ingin anak saya nanti kuliah di Indonesia dan belajar Islam” harapnya.

Azan Pertama di Swedia

Kemarin Ronnee men-tag video tentang pelaksanaan azan pertama berpengeras suara di Swedia di Masjid Fittja Stockholm. “Inilah kali pertama azan disiarkan melalui pengeras suara di menara masjid itu pada Jumat 26 April 2013″. Tulis Ronnee . “Sekarang kami tinggal di Enkoping” tulis Ronnee lagi, Enkoping sekitar 50 kilometer arah ke Barat Laut Stockholm. “Datanglah main ketempat kami, sekarang lagi musim panas”. kata Ronnee.

Pernah iseng kulihat ongkos penerbangan dari Phuket lang sung ke Stockholm, sekitar 8 juta rupiah. Lumayan juga, berkhayal kesana, nanti pulangnya jalan darat melalui Denmark, terus ke Bulgaria, Tukey dan mampir ibadah Umrah di Makkah.

Puasa Ramadan di Swedia

Banyak yang kami bincangkan bersama Ronnee, terkadang melalui Skippy.
“30 minit lagi suboh disini, sekarang pukul 01.30″ tulis Ronnee lagi. Kulihat jam di Laptopku pukul 06.30 Wibb. Sudah dua jam yang lalu masuk waktu subuh, shalat subuh di Batam sekitar pukul 04.30. Sementara selisih waktu antara Batam dengan Swedia sekitar 5 jam. ” Saat ini shalat subuh di Swedia pukul 02.00. dan shalat Ihsa jam 23.30, magrib pukul 10 malam” tulis Ronnee menjelaskan, pukul 02 an hari sudah terang.

Tahun ini Ronnee sekeluarga, akan melaksanakan puasa Ramadhan dengan waktu sangat panjang sekitar 20 jam. Magrib pukul 10.00 dan subuh pukul 02.00 .
Hal itu acap dilakukan mereka, sekitar 50 keluarga muslim ada di Enkoping, beberapa keluarga mengikuti ketentuan puasa dengan terbit dan tenggelamnya matahari, sebagian ada juga yang mengikuti waktu puasa di Turkey (Negara Islam).  Tetapi Pusat Islam Swedia menfatwakan puasa Ramadhan di Swedia mengikuti putaran matahari.

Ditempat kita dibumi khatulistiwa ini, perbedaan siang dengan malam hampir sama, nyaris sepanjang tahun puasa sekitar 13 jam saja, itu pun masih banyak yang meninggalkan syariat ini.

Mau tau rasanya puasa 20 jam, boleh juga jalan ke Swedia. (imbalo)

Mengunjungi Camp Army MNLF Laguitan


laguitan2Catatan Perjalanan

Imbalo Iman Sakti  – Filipina –

Perjalanan kami lanjutkan ke Cotabatu. Cotabatu adalah salah satu kota di Filipina yang terletak di Mindanao. Dari Manila dengan Cebu Pasifik penerbangan di tempuh lebih dari dua jam.

Cotabatu disebut juga Kuta Watu atau Kota Batu, memang dikelilingi bukit berbatu. Kota ini eksklave dari Wilayah Otonomi Muslim Mindanao (ARMM). Dulu adalah ibukota provinsi, sekarang provinsi Maguindanao. Sejarah panjang Cotabatu di abad ke 15, adalah pusat kerajaan dibawah ke-Sultan-an Dipatuan Kudarat. Islam adalah Agama resmi kerajaan itu.

Spanyol menjajah Filipina, mendirikan sebuah pos militer di tempat yang sekarang bernama Baranggay Tamontaka, salah satu pemukiman Kristen awal didirikan di Selatan Filipina sekitar tahun 1870.
laguitan1

Tiba di Lapangan Terbang Cotabatu, kami langsung dijeput minibus, tidak melalui pemeriksaan. Dan diantar menuju Hotel Al-Nor. Sepanjang jalan, dari mulai keluar lapangan terbang hingga memasuki kota beberapa sekatan jalan raya dengan kawat berduri dan tentara berjaga, kami lalui. Suasana ini terasa persis seperti di Selatan Thailand, dan Aceh Indonesia.

Keesokan harinya, dengan Toyota setengah kabin, kami meninggalkan Cotabatu, menuju satu tempat yang bernama Laguitan. Begitu juga sekatan jalan raya, seperti di Cotabatu, sepanjang jalan memasuki kot-kota kecil yang kami lalui, sekatan ini pun masih terlihat.

Tujuan kami adalah Camp Army Moro National Liberation Front (MNLF) Dari Cotabatu ke Camp MNLF Laguitan, kami harus berhenti di Lebak, setelah lebih tiga jam perjalanan dengan jalan yang berliku menyusuri jalan berbukitan.

Mungkin melihat kondisi rekan kami yang tak sanggup dengan medan jalanan seperti itu, dan mabuk muntah lagi. Kami pindah kenderaan.
Dari Lebak, perjalanan dilanjutkan melalui laut, dengan boat. Naik boat hampir dua jam, kami tiba di camp yang cukup terkenal itu.

Datu Randy dan penulis

Datu Randy dan penulis

Bot tidak bisa langsung kedarat, tidak ada dermaga di teluk Laguitan yang indah itu. Bibir pantai landai, berpasir lembut kami jejaki. Dari jauh terlihat Datu Randy orang nomor satu di camp army MNLF Laguitan, menyongsong kedatangan kami. Rupanya Dia sudah sampai sejam yang lalu melalui jalan darat.

Camp army dikelilingi bebukitan cukup tinggi dan terjal, agak sulit kenderaan roda empat masuk ke camp itu, karena belum ada akses dari jalan raya. Kini pemerin tah otonomi Islam Mindanao, mulai membangun jalan raya, masuk ke camp itu, tetapi belum selesai lagi.

Di areal camp, pemandangan nya yang cukup indah, sampai ke puncak bukit terlihat tanaman jagung subur menghijau. Kami disuguhi makanan yang terbuat dari ubi kayu diparut dan dipanggang, ada rasa garam sedi kit, lumayan lezat.

Datu Randy membawa kami mengelilingi areal camp, menunjukkan bangunan camp yang sedang dalam renovasi. Di perairan teluk itupun ada budi daya ikan dalam kerambah.

Teluk yang mengahadap langsung ke laut Sulu ini, berair jernih, pohon kelapa sepanjang garis pantainya. Pantaslah Mindanao sulit ditaklukkan. Masyarakatnya tidak harus hidup tergantung dari ekonomi luar sebagaimana tutur Datu Randy.

“Ini kuda kesayangan saya”.ujar Datu yang cekatan membawa kenderaan dijalanan berliku, Datu yang semua orang kenal dan hormat ini, Dialah yang menyetir kenderaan membawa kami sampai di Lebak tadi. Beliaupun ahli menung gang Kuda. Dan kuda adalah kenderaan utama untuk mengangkut hasil tanaman di pebukitan, nyaris diseluruh Mindanao.

Otonomi khusus, Mindanao Flipina Selatan, mereka mengejar ketinggalan. “Silahkan datang berkunjung, InsyaAllah Aman”. jamin Datu Randy kepada kami.
Anugerah Ilahi di bumi Fi Amanillah. (***)

Kisah Mustafa Belajar Islam di Indonesia


FotoNamanya Mustafa (22), berasal dari Provinsi Tay Nhin Vietnam, Senin (18/3/2013) yang lalu, Mustafa mengunjungi Buletin Jumat (BJ). Mustafa tidak sendi rian, berdua dengan Umar asal Provinsi Chau Doc.

BJ, pernah berkunjung ke kedua Provinsi yang berbatasan dengan Kamboja itu. Tay Nhin Vietnam, hanya berbatasan ladang ubi singkong dengan Provinsi Kampung Cham di Kamboja. Sementara dari Chau Doc Vietnam, naik ferry menyu suri anak sungai Mekong sekitar 3 jam sampailah di Ibukota Kamboja Phnom Phen.

Di kedua porvinsi itu ramai umat Islam, tidak ada data resmi dari pemerintah Vietnam, berapa jumlah persisnya. Di Tay Nhin ada 7 buah masjid. Ketujuh masjid itu pernah dikunjungi BJ. Ada madrasah, tetapi tidak ada ustad yang mengajar.

Di Chau Doc, puluhan jumlah masjid berdiri, puluhan ribu penduduk muslimnya. Ada beberapa madrasah, kesitulah Mustafa kecil belajar agama Islam. Madrasah, yang dikelolah oleh ustad Umar.

Jauh perjalanan dari Tay Nhin ke Chau Doc naik Bus ditempuh selama satu malam. Kalau dari Saigon (Ho Chi Min) ke Tay Nhin naik Bus 5 jam.
Senang sekali Mustafa saat seseorang yang berasal dari Indonesia mengajaknya ke Indonesia, untuk belajar Islam ke jenjang yang lebih tinggi. Saat itu Mustafa berusia 15 tahun. Untuk memperlancar bahasa Indonesia nya , selama setahun tinggal di Indonesia Mustafa hanya belajar hafalan Alquran saja. Barulah tahun kedua Mustafa belajar lain lain pelajaran.

Dasar Mustafa memang ingin memperdalam ke-Islamannya, dan niatnya setelah pulang nanti ke Tay Nhin akan mengajar di kampungnya.Tentulah Dia ingin belajar ilmu ke-islaman sebanyak banyaknya. Bukan hanay belajar Hadist belaka. Tetapi apa lacur, di pondok tempat dia belajar tidak diperbolehkan belajar dari kitab atau buku yang bukan terbitan atau yang dikeluarkan oleh lembaga tempat dia belajar.Foto

Hal itu pernah ditanyakan Mustafa kepada ustad yang mengajar di ponpesnya. Mustafa dinasihati dan dingatkan bahwa dia tidak boleh was-was. Kalau dia was-was, bisa terkeluar dari Jamaah kalau sudah keluar dari Jamaah, terkeluar pula dari Islam.

Sejak itu, hati Mustafa selalu bertanya-tanya, dan memang was-was, kesempatan ada, saat membu ka internet, Mustafa menemukan jawabannya. Dia ingin pulang segera, tetapi tidak punya uang sebesar 3.000 US Dollar. yang harus dibayarkan sebagai denda?

Enam tahun lamanya dia di pondok dan lembaga yang lebih fokus kepada pembahasan hadist itu, Kini Mustafa sudah bebas, “Saya takut sekali saat disana, kan di negeri orang.” ujar Mustafa lugu, agak terdengar medok bahasa Jawanya. Maklum beberapa lama ada pengabdian jadi dai, Mustafa harus tinggal di beberapa daerah di Jawa Timur.

Siang tadi (20/3) Mustafa mengi rimkan sms kepada BJ, setelah dari Singapura, Mustafa akan ke Tay Nhin dahulu, memberitahu kan kepada kawan-kawannya agar tidak seperti Dia. Terjebak?.

Rumah Makan Padang Terkenal Pun Gunakan “Anciu”


Bukan berarti kalau disebut Restoran Masakan Padang, makanan yang disajikan Rumah Makan itu sudah pasti di jamin Halal.

Hal itulah yang ditemukan oleh Halal Watch di Jakarta, ada tiga Resto Masakan Padang yang cukup terkenal di Jakarta dan Indonesia, menggunakan Anciu [sejenis arak] dalam masakannya. Karena keserakahannya dan gelap mata menggunakan barang haram tersebut, dengan maksud ayam yang disajikan tetap empuk dan cepat dalam penyajian.

Tidak di Jakarta, di Batam pun banyak Resto Masakan Padang, yang tidak jelas kehalalannya, ada sebuah Reto Masakan Padang terletak di daerah Nagoya, bernama Pagi Sore, awalnya mulai jualan, pemotong ayamnya ber agama Islam dan telah dilatih oleh LP POM MUI, namun belakangan sang petugas berhenti. Dan jadi
lah sang pengelola bertindak merangkap jagal, pada hal Dia non muslim.

Sebuah Resto lagi yang bernama Sanur, Resto ini terletak di Batam center, mengembalikan sertifkat halalnya karena tidak dibenarkan memakai dan menjual barang yang beralkohol.

Sebenarnya tanpa penamba han zat perasa pada masakannya, masakan Padang sudah pasti lezat. Jika mengikuti pola masakan Padang yang sebenarnya, daging ayam itu akan empuk jika dimasak dalam waktu yang lama. Yaitu tadi, dengan alasan ekonomis, mereka mencari jalan pintas, dengan harapan menghemat. Namun mengorbankan umat Islam, karena mengabaikan kehalalannya.

Di Bandara Hang Nadim tidak semua Resto Masakan Padang mempunyai sertifikat Halal. Sebagai konsumen muslim, kita tidak usah segan dan takut menanyakan kehalalan masakan di Resto yang belum pernah kita singgahi apalagi jelas jelas tidak mempunya sertifikat halal.

Di depan pintu masuk Mall Nagoya Hill ada Resto Masakan Padang, sang pengelola bukan orang Minang. Beberapa waktu yang lalu di Resto itu ada tulisan halal tidak standar MUI, alasan sang Kasir yang juga merangkap sebagai pengelola semua karyawan dan tukang masaknya adalah orang Muslim. Dan memang menurut pengakuan juru masak, mereka tidak menjual dan memasak babi. Mempromosikan halal tapi tidak berproduksi secara halal, dan tidak mempunyai sertifikat halal yang berlaku, adalah salah disisi Undang-Undang. Bisa dikenai hukuman Pidana dan Perdata.

Masih di Batam, dari penga matan Buletin Jumat, Resto atau Rumah Makan Masakan Padang ini, bila dikelola oleh orang Minang (Islam) , selalunya memakai nama agak khas, seperti Salero Basamo, Salero Bandaro, Salero Bagindo. Memang kita akui tidak semua yang memakai nama, seperti Pagi Sore, Siang Malam, Sempurna misalnya dikelola dan pemiliknya bukan orang Minang (Islam).

Untuk itulah kita sebagai konsumen harus hati hati dan teliti, dan berani bertanya, dan sebisa mungkin tidak makan di Resto yang tidak jelas kehalalannya. Resto itu akan tutup sendiri nantinya, kalau kita sepakat tidak mau makan disitu. Contoh rumah makan yang terletak di Nagoya (Pagi Sore) .

Pulau Boyan Rumah Pak Panjang


Dari Perjalanan Mengunjungi Pemukiman Sulu Laut

Dari Pelabuhan Sagulung, kami naik spead boat 40 PK. Hanya beberapa menit saja, persis disebalik sebuah pulau kecil tak berpenghuni, sampailah kami di Pulau Boyan.  Pulau Boyan di dalam peta tertulis Pulau Bayan. Entah sejak bila, pulau kecil berpenghuni belasan kepala keluarga suku laut ini, berubah nama menjadi Pulau Boyan.

Pak Panjang Orang yang paling tua di pulau itu pun tak tahu persisnya. Sekitar tiga tahun yang lalu, kami dirikan sebuah mushala kecil disitu. Dai yang dikirim oleh AMCF, hanya bertahan setahun. “Sejak Ustadz Tasman tak ada, tak ada lagi yang mengajari kami me ngaji” ujar Ibu Ani.  “Di mushala jarang ada kegiatan”.lanjutnya Kami shalat Juhur dan Asyar di jamak dan diqasar berjamaah.

Di dalam mushala terlihat bersih, tetapi hampir seluruh dinding plaster semen terkelupas. Mung kin dulu pasir yang digunakan bercampur dengan air asin, jadi mudah terkelupas. Dibagian luar dinding mushala pun demikian juga. Plasteran terlihat mengelem bung, seakan ingin berpisah deng an pasangan batunya.

Pulau kecil masuk dalam kelu rahan Pulau Buluh dan kecamatan Bulang ini, tidak ada sumber air tawarnya , tetapi Alhamdulillah saat wuduk tadi, tandon 1000 liter sumbangan dari seseorang yang tak mau disebut namanya, berisi air, walaupun tidak penuh. Beberapa kali ada lembaga sosial survei kesitu, ingin membantu membuat sumur bor, tapi hingga kini belum terwujud.

Beberapa tahun yang lalu pu lau kecil yang eksotik ini, ramai di kunjungi kapal kapal kecil yang lalu lalang, untuk mengisi minyak. Disitu dulu, ada pangkalan pengisi an bahan bakar minyak (BBM). Masih terlihat beberapa buah tangki dari baja yang sudah mulai berkarat. Perpipaannya pun masih rapi terpasang. Diantara pipa – pipa dan tangki BBM itulah ada jalan setapak menu ju ke pantai, kerumah ibu Ani. Bu Ani mengharapkan ada seorang Dai lagi datang ke situ, agar dapat mengajari mereka tentang Islam.

Pak Panjang Dari jauh , melihat kami datang, ter gopoh gopoh pak Panjang datang, Pria tua 70 tahunan ini tersenyum, terlihat giginya rapi, rupanya baru dipasang gigi palsunya. Pak Panjang punya beberapa orang anak perempuan , seorang anak perempuannya bernama Fatimah menikah dengan warga keturunan dan hingga kini meme luk agama suaminya. Begitu juga cucu lelaki bu Ani, menikah dan mengikut agama isterinya.

Tak banyak yang dapat kami lakukan, hanya mendengar cura han hati dari penduduk kampung pulau Boyan itu. Pulau Boyan, mau dikatakan pulau terpencil, tidak juga. Hanya beberapa menit saja dari Batam, kota Metropolitan yang sibuk dengan segala kegiatan.

Tak jauh dari pulau itu ratusan kapal – kapal besar bersandar dan berlabuh menunggu perbaikan. Tentunya itu semua adalah devisa, yang tak menyentuh kehidupan mereka. “Umur saya paling juga 3 tahun lagi” ujar pak Panjang kali ini dia tidak tersenyum, tetapi tertawa, tampak semua gigi palsu nya. “Kapan kampung kami ada listriknya”. rungutnya.

Pantas pak Panjang merungut, tak jauh dari pulau itu pipa Gas diameter besar mengalir ke Singapura, puluhan kilo meter panjangnya. Aku tersenyum, lalu mengajak nya photo bersama. Kumasukkan lembaran berwarna biru ke dalam sakunya, itulah yang dapat kula kukan. Dan Aku tak mau berjanji, tapi isnyaAllah, akan kukabar kepada Datuk Bandar, mudah mudahan beliau mendengar.

Kami tinggalkan pulau Bayan, bersama Adi Sadikin dari Malaysia, Ita Hasan Si Pulau Terluar, Aisya dari Pekanbaru, Jogie dari Hang Tuah, Sabri anak jati pulau Bulang dengan lincahnya menjadi tekong kami menuju destinasi yang lain.

Hari pun beranjak petang. (*)