Muslim Minoritas Yang Tertindas Di Burma


Phuket, adalah salah satu kawasan pelacongan di Thailand, daerah tujuan wisata yang menjadi andalan Thailand itu,  akh sudah lama nian aku ingin kesana, beberapa kali ke Thailand bahkan sampai ke Mae Sai di provinsi Chiang Rai kota paling utara yang berbatasan dengan Ta Ci Lek (Myanmar) telah ku kunjungi, bahkan sudah beberapa kali.

Belum sempat – sempat juga mampir ke Phuket. Padahal provinsi ini sering ku lalui. Beberapa kali pula Daud Jaruh mengajakku. Teman yang satu ini adalah aktifis dalam penanggulangan HIV/AIDS di Thailand yang ditujukan khusus kepada muslim.

“Saya duduk di Phang Nga” katanya satu waktu. Phang Nga adalah salah satu provinsi di Thailand, “sengaja opis dekat situ untuk memudahkan perjalanan ke Krabi dan Phuket” jelas Daud lagi.

Hari itu (27/02)   setelah melintasi perbatasan Wang Kelian Perlis (Malaysia) dengan Wang Prachan Khuan Don  provinsi Satun Thailand kami mampir di Phang Nga di kantor Daud Jaru. Dan malamnya  selepas magrib perjalanan dilanjutkan ke provinsi Ra Nong (baca Rak nong) . Simpang jalan menuju Phuket pun kami lalui. Lagi lagi aku tak dapat menyinggahinya.

Kami ke Ra Nong karena  provinsi di Thailand ini yang berbatasan  langsung dengan Kaw Thoung (baca Kok Song) provinsi Burma Myanmar.

“Banyak disana orang Myanmar yang dapat berbahasa melayu” jelas ustadz Wahab. Dan memang lah tujuan kami hendak bersilaturrahim dengan sesama muslim yang ada disana. Hal ini selalu dan rutin kami lakukan.

Namun sebelum sampai di Kaw Thoung, kalau orang Siam menyebutnya Kok Song, kami dikabari bahwa ada 5 orang pelarian dari Myanmar kemarin mati tertembak, mereka tertangkap asykar saat hendak “menyeberang” ke Thailand.

Sebenarnya hal itu telah sering terdengar di media – media, baik media cetak maupun media elektronik. Di Malaysia saja puluhan ribu orang pengungsi dari Burma yang tidak jelas statusnya.

Di Indonesia pun ratusan orang dari mereka yang kini masih tertahan di beberapa daerah termasuk di Tanjung Pinang Kepulauan Riau, di  Aceh dan Batam juga.

Di Thailand pun  tak kurang banyaknya yang jadi pelarian, sangkin banyak nya hingga tak dapat di data, “Bagaimana nak mendata karena mereka takut kalau mengatakan identitasnya sebagai orang Burma” jelas Daud , menanggapi sekitar berapa banyak jumlah rakyat Burma yang ada di Ra Nong saja saat ini.

Karena takut dan menghindari hal hal yang tak diinginkan malam itu perjalanan kami hentikan dan  kami bermalam di perbatasan disatu kampung yang bebatasan dengan Ra Nong. Kami tidur disitu hingga keesokan harinya.

Pagi harinya perjalanan kami lanjutkan ke Ra Nong, terus menuju border, tercium bau amis yang cukup menyengat, karena border dan tempat pelelangan ikan jadi satu. Disitulah  juga tempat pemeriksaan pasport menuju Myanmar.

Indonesia Dan Malaysia Beda

Lagi lagi aku sebagai satu – satu nya orang Indonesia dalam perjalanan itu mendapat perlakuan yang berbeda, saat hendak masuk ke Thailand dari Perlis Malaysia pun aku harus membayar 10 ringgit Malaysia di counter imigrasi. Di pintu keluar tadi, selain 10 Dollar Amerika , kami dimintai 2 ringgit Malaysia lagi.

Lagi lagi tanpa ada tanda terima. Sementara ongkos dengan bot sampai ke Kok Song (Kaw Thoung) sebesar 5 RM perorang, satu bot di muat 10 orang. Kami memakai 2 buah bot, bot nya agak aneh mesin nya punya kemudi panjang.

Dari Rak Nong menuju Kok Song cukup ketat penjagaan, dua negara yang hanya dipisah oleh selat Andaman itu,  kita di periksa oleh petugas sampai 5 kali. Padahal jarak antara keduanya tak lah begitu jauh, hanya sekitar 3 mil laut saja. Ada beberapa pulau pulau kecil diantar kedua negara itu di tempati petugas berseragam dan bersenjata lengkap terhunus.

Sesampai  di kantor imigrasi di Kok Song  yang sangat sederhana sekali, dengan hanya berbaju singlet duduk diatas kursi kayu dan meja kecil kami di terima petugas imigrasi. Banyak sekali pertanyaan ditujukan kepada kami, pertanyaan itu di terjemahkan oleh tukang bot yang membawa kami karena memang dianya dapat berbahasa melayu dengan baik.

Banyak sudah negara yang kukunjungi dan banyak border yang kulalui barulah kali ini ada petugas imigrasi yang hanya bekerja dengan kaus singlet dan berkain sarung.

Foto Mustaqim Mustafa - Don't Tell My Mother I'm In Union of Myanmar

Foto Mustaqim Mustafa - Don't Tell My Mother I'm In Union of Myanmar

Di Kantor imigrasi itu Pasport kami semua di tahan,  setelah di photo kami diberi kertas selembar yang disitu terpampang photo kami  masing masing, diujung kanan tertulis  “motel”  maksud nya harus tidur di motel atau di hotel tidak boleh di tempat yang lain meski di tempat saudara sekalipun dan kami di wanti wanti untuk tidak pergi jauh lebih dari 3 kilometer. Bila ini di langgar mereka tak menjamin kalau kami di tangkap polisi atau yang berwajib.

Banyak kisah pilu dan sedih yang dialami umat Islam di sana, kami pun tak dapat hendak  menyebut nama  yang memberikan maklumat, karena hal itu dapat membuat susah si empunya nama.

Siang itu lebih 2  jam lamanya kami di kantor imigrasi, selepas dari kantor imigrasi yang cukup melelahkan, (tak ada kursi atau tempat duduk disitu, udara yang cukup panas) kami naik dan diantar  sejenis tuk tuk yang dapat memuat belasan orang  menuju ke sebuah motel.

Dengan bayaran 70 RM perkamar untuk 2 orang. “Air hidup pukul 6 petang dan ekon pun baru pukul 6 petang nyala” kata petugas motel yang diterjemahan oleh  supir tuk tuk itu kepada kami.  Tetapi untuk kami mereka dapat menghidupkan dan menyalakan ekon dan air, karena kami akan bermalam 3 (tiga) hari.

Selepas itu kami makan di sebuah kedai makan, yang tak jauh dari Motel tersebut,  cukup lumayan enak  makanan  khas disana. Dan di lanjutkan dengan shalat jamak Takhir di sebuah masjid di Kampung Melayu namanya. Masjid Kampung Melayu ini terletak di tengah kota, tak terlihat seperti bangunan masjid dari luar, di bawah nya di lantai satu bentuk toko dan di lantai dua adalah bangunan masjid. Disebelah tangga naik ke atas terlihat besi rangka beton yang sudah berkarat karena terkelupas konkret (semen) nya, kalau dibiarkan terus begitu dapat mengakibatkan balok itu rapuh dan roboh.

Di Provinsi Kaw Thoung (Kok Song) ini banyak terdapat masjid. Di Pulau Dua, diseputaran kami menginap saja ada 5 masjid. Disitu pun beragam entis muslim ada disana, yang muka nya mirip dengan kita (orang Melayu) , India , Pakistan yang disebut Rohingya, dan ada juga yang mirip china.

Mereka membenarkan bahwa pemerintah Junta tak memberi izin  mereka memperbaiki masjid yang sudah rusak (renovasi) , demikian pula  sekolah-sekolah terutama madrasah. Untuk mendapatkan izin renovasi harus se izin pemerintah pusat di Rangon sana. Bukan lah hal yang mudah untuk mendapatkan kelulusan izin renovasi itu. Banyak prosedur yang harus di siapkan.

Mereka, pelajar pelajar disitu tidak diberi dan tidak dizinkan untuk  belajar tulisan rumi, tetapi ini  berlaku kepada umat muslim saja. Saat dimasjid itu ada eseorang yang datang menemui kami mengatakan raswah (suap) disana meraja lela. Contohnya 10 US Dollar tadi yang kami berikan kepada petugas imigrasia tanpa ada tanda terima.

Begitu tertekan nya umat Islam sejak Junta berkuasa. Masjid – masjid terlihat kumuh seakan tak terawat karena tak boleh di perbaiki. Saat itu hujan tiba disaat kami hendak melaksanakan shalat magrib dan Isya, di salah satu masjid yang lain. Di dalam masjid di sudut sudut ruang terlihat jejeran ember ember plastik untuk penadah atap yang bocor.

Perjalanan dari Kaw Thoung ke Ibukota di Rangon sana dapat di tempuh dengan pesawat udara, kalau dengan kapal laut lamanya bisa 3, 4 hari. Nah kalau dengan bus bagaimana? , mereka hanya tersenyum kalau nasib baik 4 sampai 5 hari baru sampai,  bisa juga tak sampai sampai.

Jalanan kurang bagus ujar seorang yang kelihatan agak berpendidikan datang menemui ku yang mengaku kepadaku dia nya dulu bekas seorang polisi.  Si bekas polisi yang sudah pensiun ini juga yang mengatakan kalau orang yang lari ke Malaysia dan Indonesia dan ke merata tempat di Asean itu adalah bukan rakyat Burma, “mereka adalah rakyat Bangla (maksudnya Bangladesh) yang datang mari, dan mengaku orang Burma”, itulah sebab mereka tak dapat papsort atau identitas sebagai rakyat Myanmar .

Mana mungkin ku bantah , karena aku pun tak tahu, tetapi puluhan orang dari  mereka pernah bertemu dengan ku di Malaysia dan di Indonesia , mereka mengaku rakyat Myanmar asal Rohingya. Pemerintah Junta tak memberi mereka identitas sebelum mereka merubah aqidahnya

Derita muslim Burma yang tertindas karena politik ini, mereka dulunya berpihak kepada Aung San Suu Kyi yang kini masih mendekam dalam penjara.

“Mudah mudahan 2012 ini penderitaan kami berakhir” harap seseorang dari mereka saat kami bersalaman pamit kembali dari Kaw Thoung menuju Rak Nong Thailand.

Siapa yang peduli dengan mereka ya?????

Satu Tanggapan

  1. Minta ya… buat perbandingan…

    Suka

Tinggalkan komentar