ACT segera masuk ke Rohingya, Visa Melalui Bangladesh


“Alhamdulillah, akhirnya visa sudah di tangan. Pemerintah Bangladesh mengizinkan kami masuk,” jelas Andhika Purbo Swasono, Ketua Action Team for Rohingya, Jumat, setelah keluar dari Kedutaan Besar Bangladesh di Jakarta. Dari Bangladesh, tak jauh lagi untuk merapat ke pengungsi Rohingya di Myanmar. Langkah membantu Muslim Rohingya pun bukan hanya wacana dan diplomasi di dalam negeri.

Sebagai kunjungan awal menemui pengungsi Rohingya di Myanmar, tak banyak rencana yang disiapkan. “Prioritasnya, memberi bantuan medis dan pangan. Hadirnya tim ini, mewakili kepedulian masyarakat Indonesia langsung ke tengah pengungsi. Seperti standar aksi ACT, kami tak pernah melupakan koordinasi dengan pemerintah, termasuk menetapkan mitra lokal. Bagaimana pun, kami adalah tamu di negeri orang, sehingga menghargai tuan rumah,” jelas Andhika.

Isu kemanusiaan sejatinya adalah “hajatan besar” umat manusia, terutama dalam bulan Ramadhan penuh berkah ini. “Karena ini hajatan besar, ACT sangat berbesar hati ketika pekan ini makin banyak simpati dan kesadaran mempedulikan Rohingya. Etnik muslim Rohingya, merupakan komunitas paling sengsara saat ini di antara penduduk dunia. Kita selayaknya terpanggil hadist orang-orang mukmin dalam hal kasih sayang, saling menyayang dan saling cinta bagaikan satu tubuh, jika salah satu anggotanya merasa sakit, maka anggota tubuh lainnya ikut merasakan sulit tidur dan demam,” ungkap Andhika.

Tanpa menunda waktu lagi, minggu 29/7 tim pertama Action Team for Rohingya akan berangkat menemui langsung para pengungsi Rohingya dipimpin Andhika. Selain Andhika, tim ini didukung relawan medis, dr. Rio Pranata. “Dokter Rio saat ini bertugas di Klaten, Jawa Tengah. Beliau akan menyusul di hari yang berbeda,” jelas Andhika.

Tim Aksi untuk Rohingya dibentuk bulan Juni lalu, dan telah melakukan serangkaian aksi galang dana dan kampanye kepedulian.

ACT, kata N. Imam Akbar, Direktur Global Humanity Response – lembaga yang diinisasi ACT merespon krisis kemanusiaan di luar Indonesia, tak hanya berikhtiar membantu Rohingya melalui Banglades. “Kami juga mengupayakan melalui Myanmar. Kalau sulit dari Jakarta, kita bermitra dengan mitra ACT di Malaysia yang insyaAllah memiliki semangat yang sama. Di Malaysia, muslim Rohingya relatif lebih tertangani. Mereka bahkan bisa membentuk paguyuban untuk memperjuangkan nasibnya melalui wadah organisasi.”

Andhika: Muda dan Selalu Siaga

Loyalitas Andhika Purbo Swasono, patut diacungi jempol. Bagaimana tidak, dalam usianya yang masih muda, lahir di Jakarta 6 Juli 1980, bapak seorang putri – Aisyah Dalia Asira, tak pernah menampik tugas. Kesiagaan telah menjadi sikapnya. Hal itu secara sadar menjadikan Tri Mardiati – istri Andhika – selalu siap menerima kenyataan untuk ditinggal suaminya bertugas. Tak berlebihan kalau Tria menikahi Andhika, mirip menikahi seorang tentara. Bedanya, Andhika tak pernah bertugas dengan membawa senjata. “Senjata saya, keikhlasan dan kesiapan menyapa saudara-saudara kita yang ditimpa kemalangan,” ujar sulung dua bersaudara dari pasangan Santoso SW dan Yupika Adelina Setyawati ini.

Karir Andhika di AC dimulai sebagai relawan. Pertama kali, alumnus Departemen Matematika FMIPA Universitas Indonesia ini terlibat dalam tim kemanusiaan ACT saat gempa mengguncang Jogja (2006). Sesudahnya, sejumlah event bencana dilibatinya. Tahun 2007, mendukung emergency team ACT. Tahun 2009, saat sejumlah bencana hadir beruntun di Indonesia, Andhika terlibat dalam sejumlah aksi kemanusiaan. Longsor Cikangkareng – Cianjur Selatan (2009), gempa bumi di Sumatra Barat, targedi pecahnya tanggul Situ Gintung (Ciputat Timur, Tangerang Selatan), gempa bumi Jawa Barat.

Andhika berkali-kali didapuk sebagai Action Team Leader. Tahun 2010 saja, dua kali posisi itu diamanahkan padanya yaitu saat erupsi Merapi (memimpin Tim Kesehatan) dan banjir bandang Cihaurbeuti, Ciamis (memimpin emergency team).

Pengalaman bergaul “dengan maut” tak pernah menyurutkan langkah Andhika. Justru situasi bersama korban-korban selamat dari bencana, meneguhkan rasa syukur dan pelajaran akan kehidupan. “Saya terkesan menyaksikan warga Jogja dan Jateng begitu tegar menghadapi bencana. Meski banyak kehilangan, harta bahkan anggota keluarganya, mereka tidak berlama-lama larut dalam kesedihan. Warga Jogja, dibanding korban bencana lainnya, lebih cepat bangkit kembali,” ungkap Andhika.

Wujud kesiapan menerima tugas, juga diperlihatkannya saat diterjunkan dalam Komite Indonesia untuk Solidaritas Somalia (KISS). Dari tim pertama sampai tim ketiga, Andhika ikut di dalamnya dan selama itu harus di luar negeri meninggalkan istrinya. Andhika bersama tim “berkeliaran” membawa bantuan masyarakat Indonesia melalui KISS – lembaga yang diinisiasi ACT – di Mogadishu, yang disebut media internasional sebagai kota paling berbahaya di dunia saat ini. “Di sela tugas di Somalia dan Kenya, ACT sempat menugaskan saya membantu korban gempa di provinsi Van, Turki (2011), menyalurkan bantuan logistik,” kata Andhika.

Selama terlibat dalam KISS, Andhika mengelola tak hanya bantuan medis dan pangan. Ia mendampingi relawan lokal menyiapkan hewan kurban, mendistribusikan dan mendokumentasikan prosesnya sebagai bentuk pertanggungjawaban kepada pekurban di Indonesia. “Pendistribusian kurban di perbatasan Somalia-kenya maupun di Mogadishu, dahsyat karena dilakukan di kawasan padat pengungsi dan minim kemampuan berbahasa Inggris. Mereka juga agak sulit ditertibkan. Tak mudah mendokumentasikan proses qurban di Mogadishu karena berlaku pembatasan aktivitas di alam terbuka orang asing sejak pukul 17.00,” jelas alumnus SMU Negeri 70 Jakarta ini.

Andhika dan kesiapannya terjun di situasi genting kemanusiaan, teladan bagi kaum muda Indonesia. Mengapa ia menerima tugas berat ini? “Tak harus menanti berumur, untuk melakukan sesuatu yang berarti,” ujarnya. Maka, ia mengaku banyak belajar dari Ahyudin, presiden ACT yang dikaguminya. “Seperti komandan (sebutan akrab kru ACT terhadap Ahyudin), sebelum pergi bertugas, saya menulis surat wasiat. Berjaga-jaga andai terjadi sesuatu terhadap saya, keluarga sudah siap dan melakukan hal terbaik. Doakan, ya, saya kembali pulang dengan selamat, jadi wasiat itu tak perlu dibuka,” ujarnya.

sumber http://arrahmah.com

Tinggalkan komentar