Sekolah Negeri vs Swasta


Tulisan ini di posting dari Harian Batam Pos.

Wawancara Wartawan Batam Pos M. Nur.

TIAP tahun berita itu jadi headline di media massa terbitan Batam: sekian ribu orang terancam tak sekolah karena daya tampung terbatas. Debat kusir selalu mengiringi persoalan ini, dan sebabnya hanya satu: para orang tua berlomba-lomba, jika tak ingin disebut memaksakan diri, memasukkan anak mereka ke sekolah negeri.

Keinginan para wali murid ini memang jadi masalah tiap tahun. Tiap tahun pula Pemko Batam membangun sekolah baru atau ruang kelas untuk memenuhi situasi itu, sementara di sisi lain sekolah-sekolah swasta banyak yang tak kebagian murid lalu tutup pelan-pelan.

Kepala Dinas Pendidikan Kota Batam Muslim Bidin tak mau disalahkan jika ada sekolah swasta yang tak mendapatkan murid baru. “Masyarakat yang minta sekolah baru,” katanya.

Tahun ini, misalnya, Pemko Batam membangun tiga SD baru, empat SMP baru dan satu SMK. Meski gedung sekolah-sekolah itu belum berdiri, tapi sudah menerima siswa baru. Siswa baru itu nantinya akan belajar menumpang di sekolah lain pada sore hari.

SD 016 Sagulung yang membuka empat kelas, misalnya, siswanya akan menumpang di SD 006 Batuaji. SMP 41 di Lubukbaja yang menerima tiga kelas siswa baru akan menumpang di SMAN 12 Batam. SMP 43 di Batam Kota akan menumpang di SMP 12.

“Saat ini pembangunan sekolah-sekolah baru itu masih dalam proses lelang,” tutur Muslim.

Mengapa banyak wali murid memburu sekolah negeri? Muslim Bidin dan Ketua Harian Badan Musyawarah Perguruan Swasta (BMPS) Imbalo Iman Sakti mengatakan, faktor ekonomilah penyebabnya. Kondisi penduduk Batam 70 persen berpenghasilan menengah ke bawah sehingga mereka memilih menyekolahkan anaknya ke sekolah negeri yang lebih murah biayanya dibandingkan sekolah swasta.

Ambil contoh SMAN 3 Batam, yang termasuk sekolah favorit. Sejak pendaftaran penerimaan siswa dibuka 19 April lalu, sekolah ini diminati 356 calon siswa. Padahal, kapasitasnya hanya tujuh kelas atau 252 siswa.

Untuk masuk SMAN 3, menurut Tapi Winanti, Kepala SMAN 3, calon siswa harus mengikuti sejumlah tes. Ada tes teori, kemampuan bahasa Inggris, psikotes, dan hasil Ujian Nasional. “Dari situ kami ambil 252 anak berdasarkan sistem ranking,” katanya.

Rabu (12/5) lalu, SMAN 3 sudah mengumumkan nama-nama 252 calon siswa yang lulus. Ada 104 anak yang masuk daftar tunggu. “Mereka bisa masuk kalau anak yang sudah lulus tes tak mendaftar ulang. Urutannya dimulai dari ranking 253,” ujarnya.

SMAN 3, kata Tapi, bisa saja membuka delapan kelas baru. “Tapi siapkan gurunya. Kalau orang tua siswa yang minta, ya mereka yang harus siapkan gurunya. Kalau Dinas Pendidikan yang minta, ya Dinas yang harus menyiapkan guru,” katanya menjelaskan.

Kesempatan orang tua menyekolahkan anaknya ke sekolah negeri, kata Imbalo, memang makin terbuka kala Dinas Pendidikan terus menambah daya tampung tiap tahun. Sementara di sisi lain, sekolah swasta tak berpacu meningkatkan kualitas. ‘’Tentu saja orang tua yang berpenghasilan menengah ke bawah itu memilih negeri,’’ paparnya.

Imbalo mengklasifikasikan sekolah dan siswanya dalam beberapa kategori. Ada sekolah negeri bagus yang siswanya pintar atau anak orang kaya seperti SMAN I Batam. Ada sekolah swasta bagus dan sedikit mahal seperti Yos Sudarso dan Kartini. Ada sekolah swasta dan negeri menengah yang siswanya umumnya beraal dari keluarga menengah ke bawah, dan ada sekolah swasta yang kualitasnya jelek sehingga tak mendapatkan siswa.

Toh, tak semua sekolah swasta kekurangan murid. Sekolah seperti Kartini, Yos Sudarso, dan Juwita, kata Imbalo, malah selalu penuh dan sering menolak siswa baru. Selain berkualitas rata-rata, sekolah swasta yang dipenuhi murid tersebut sudah punya segmentasi tersendiri. ‘’Karena kualitas mereka bagus dan mereka yang sekolah di sana orang tuanya berpenghasilan Rp10 juta ke atas,’’ tuturnya.

Beberapa yayasan perguruan swasta yang bernaung di bawah BMPS, kata Imbalo, ada yang mengeluh tak kebagian siswa karena Pemko Batam selalu membangun sekolah baru setiap tahun. Namun BMPS juga tak bisa menyalahkan pemerintah karena pemerintah juga berkewajiban menyediakan fasilitas pendidikan buat warganya.

“Saya tak akan melarang pemerintah buat sekolah baru. Kalau mau bikin, silakan bikin. Swasta harus mengimbanginya dengan meningkatkan kualitas,” kata Ketua Yayasan Pendidikan Islam Terpadu Hang Tuah itu.

Di Sekolah Hang Tuah sendiri, kata Imbalo, ia tak terlalu memikirkan jumlah siswa di sekolahnya itu. Yang penting, katanya, kualitas proses belajar dan mengajar membaik dan fasilitas bertambah. Bahkan, Hang Tuah membebaskan siswa baru dari uang pembangunan.

‘’Yang sekolah di sini siswa yang orang tuanya menengah ke bawah itu. Kami membebaskan siswa dari uang pembangunan, seragam silahkan beli sendiri,’’ katanya.

Muslim Bidin meminta sekolah swasta tak menarik biaya tinggi pada siswa-siswanya jika ingin bertahan dan mendapatkan siswa baru. Karena swasta juga mendapatkan dana BOS, insentif guru, dan block grand dari pemerintah pusat. “Swasta harus menyesuaikan. Kalau mahal-mahal, mereka pasti menyerbu negeri,” ujar Muslim. Sebagai perbandingan, jika rata-rata sekolah negeri mengenakan biaya SPP sebesar Rp30 ribu hingga Rp70 ribu per bulan, sekolah swasta mengenakan biaya Rp100 ribu hingga di atas Rp1 juta per bulan. Ini yang membuat orang tua berpenghasilan kecil menyandarkan sekolah anaknya pada sekolah negeri.

Yang tak kalah penting, kata Muslim, mempertahankan kualitas. Sekolah-sekolah swasta di Batam harus berkualitas baik jika ingin mendapatkan siswa baru. ‘’Masyarakat melihat kualitas. Kalau tak berkualitas, tentu masyarakat tak mau,’’ ujarnya.

Soal kualitas guru sekolah negeri dan swasta, Imbalo menyayangkan sikap Dinas Pendidikan Batam. Banyak guru bagus, terutama untuk pelajaran eksakta yang mengajar di swasta ditarik ke sekolah negeri sehingga sekolah swasta kekurangan guru berkualitas.

Langit dan Bumi

Kasta di sekolah swasta memang bertingkat-tingkat, seperti yang disampaikan Imbalo. Perbandingannya bisa benar-benar bak langit dan bumi, baik dari sisi kualitas dan biaya. Di sekolah negeri, di luar sekolah unggulan, perbedaan seperti ini tak terlalu kentara. Sebab kualitas mereka hampir merata dan biayanya pun hampir semuanya sama. Inilah yang mendorong para wali murid berdesak-desakkan memasukkan anak mereka ke sekolah negeri.

SMA Kartini, sekolah swasta tertua di Batam misalnya, uang masuknya Rp3,5 juta untuk calon siswa lulusan SMP Kartini. Sedangkan calon siswa dari sekolah lain Rp4 juta. Kemudian uang SPP Rp485 ribu per bulan.

Biaya itu tergolong mahal untuk rata-rata masyarakat Batam. Tapi, menurut Kepala SMA Kartini Retno Winaryanti, uang sebesar itu sebanding dengan fasilitas yang diterima siswa dan kualitas sekolah ini. Di SMA Kartini tersedia ruang komputer yang lengkap, laboratorium biologi, fisika, dan kimia, laboratorium bahasa, perlengkapan dan asesoris marching band, lapangan olahraga lengkap dengan berbagai fasilitas pendukungnya.

Meski biaya di sekolah ini termasuk mahal, SMA Kartini tidak menolak jika ada siswa kurang mampu yang ingin masuk. SMA Kartini memberikan keringanan dengan mengangsur.

Lain lagi Madrasah Aliyah Nahdatul Wathan di Tanjungriau, Sekupang. Raja Husin, sang kepala sekolah mengatakan, saat pendaftaran, sekolahnya tidak banyak memungut biaya. ‘’Hanya biaya formulir Rp5 ribu,’’ katanya. Sementara uang masuk akan dimusyawarakan dengan majelis guru nantinya. ‘’Tak mahallah,’’ tegasnya.

Berbeda dengan SMA Kartini yang masih mengenakan biaya SPP, Nahdatul Wathan tidak membebankan biaya SPP kepada siswanya. Tapi biaya BP3 masih dipungut.

‘’BP3 ini bisa bertahap. Palingan Rp50 ribu,’’ jelas Raja Husin. Biaya ini terbilang murah jika menilik fasilitas yang cukup memadai yang dimiliki sekolah. (med/uma/bal).