Bersama Yayasan Amal Kedah Malaysia mengunjungi Saigon.


Tengah, Tok Hakim Islam Bani, kanan Hasan nama Vietnamnya adalah Thap DaiTruong Tho

Tengah, Tok Hakim Islam Bani, kanan Hasan nama Vietnamnya adalah Thap DaiTruong Tho

Sebenarnya rencana kami hendak ke Saigon sudah dirancang dua bulan yang lalu yaitu awal Juli 2012 , pada saat itu harga tiket Air Asia dari Kuala Lumpur – Ho Chi Min , masih sekitar seratusan ringgit saja .
Kawan dari Malaysia sudah beli tiket “Kami sudah beli tiket untuk 5 orang” tulis Zul Lebai Baron dalam pesannya di Facebookku. “Jadi kan pak Imbalo, ikutlah dengan kami” lanjutnya lagi berharap.
“Insyaallah” jawabku ketika itu. Tetapi sampai menjelang 2 hari sebelum keberangkatan (5/9) belum juga tiket kupesan.

Rencana teman teman dari Amal Kedah Malaysia hendak ke Saigon adalah dalam rangka survey untuk ber- qurban bulan Oktober 2012 mendatang , dan juga kemungkinan untuk melaksankan khitanan masal disana.

Akhirnya kuputuskan juga untuk berangkat menemani mereka, Berangkat dari Batam (5/9) petang naik ferry terakhir, sampai di terminal bus Larkin Johor Bahru , terdengar azan Isya berkumandang .

Sengaja kuambil keberangkatan bus pukul 9 malam dengan harga tiket sebesar 31 RM, rencana semula langsung ke Kuala Lumpur, tetapi aku turun di hentian Nilai. Di hentian Nilai telah menunggu Nadzmi putra pak Yusuf dan Nadzmilah yang mengantarkan ku ke LCCT dan bergabung dengan teman2 yang dari Kedah , saat tiba di LCCT hari telah pukul 2 pagi.

Sepagi itu Kounter Air Asia belum buka , terpaksa menunggu 2 jam lagi. rencana hendak menukar jadwal penerbanganku dari AK 886 ke AK 880 , karena semua teman dari Malaysia yang akan berangkat ke Saigon dengan penerbangan AK 880 pukul 7 pagi , sementara aku sendiri berangkat dengan AK 886 pukul 12 tengah hari.

Awalnya Kami yakin bisa sama-sama berangkat dengan penerbangan AK 880 pagi , dari pengalaman beberapa maskapai penerbangan lain, bila masih ada sit kosong pada penerbangan awal. Ternyata hal ini tidak berlaku bagi Air Asia. “Macam tu boleh dilakukan sebelum 2×24 jam” ujar petugas Air Asia yang berada diterminal itu. Apa boleh buat sudah cepat2 datang ke LCCT, tak dapat nak berangkat bersama. Terpaksalah berangkat tengah hari seorang diri.

Tujuh jam lagi harus berada di LCCT , Apa yang harus kubuat. Pengalaman ber jam jam di Bandara bukanlah hal yang pertama kali kualami. Beberapakali dari Phnom Phen (Kamboja) naik Bus ke Bangkok, tiba di Bangkok hari telah pukul 11 malam , malam pada jam seperti itu sulit mendapatkan bus langsung ke Hadyai (perbatasan Malaysia – Thailand) , Nah , tempat yang aman untuk bermalam (tidur) bagi orang sepertiku ini adalah di Bandara Swarnabumi Bangkok, menunggu siang keesokan harinya.

Di Bandara negeri Gajah Putih itu banyak tersedia kursi yang dapat dipakai untuk meluruskan pinggang, kalau pun mau tiduran di lantai, tempat nya luas dan bersih . LCCT sungguh tidak sama dengan dan tidak mungkin bisa disamakan dengan Swarnabumi Bangkok misalnya, tetapi paling tidak tambahlah kursi di ruang tunggu itu. Belum lagi bau menyengit Toilet persis di depan ruang keberangkatan tidak dibersihkan. Saran untuk Air Asia jangan rajin jual makanan saja diatas pesawat.

Penumpang diLCCT dan Swarnabumi hampir sama membludaknya. Ratusan bahkan ribuan orang yang bernasib sama dengan ku, menunggu penerbangan berikutnya, bahkan ada yang sudah lebih dari 24 jam berada disitu , seperti mahasiswa dari Thailand yang hendak berangkat ke Indonesia misalnya.
Dan jangan harap ada air mineral free diruang tunggu bandara biaya murah itu, sebagaimana Bandara lain, toh bukan kah sama-sama terbang dengan Air Asia ?

“Pak kalau mau tiduran di ruang kedatangan, gak terganggu” ujar seorang lelaki paroh baya yang kukenal saat selonjoran kaki di Bandara yang baru saja di pogging dengan asap berbau melatin anti nyamuk demam berdarah. Bau asap membuat orang – orang yang berada di ruang tunggu pada bertempiaran kemana – mana. Hem beginilah nasib lapangan terbang biaya murah. Tak ada sedikitpun permintaan maaf hendak menyemprot asap yang membuat pusing kepala dipagi buta itu.

Tak sadar aku terlelap juga di bangku ruang kedatangan, terbangun saat sms masuk ke hpku, ternyata kawan- kawan sudah sampai di Ho Chi Min. “Mereka sudah makan dan sekarang sedang tiduran, papak sudah dimana?”. tulis Hasan pemuda asli Champa asal Provinsi Phan Rang Vietnam yang pernah belajar di Indonesia . “Saya sekarang tunggu papak di Lapangan Terbang” tulis nya lagi.

Sekitar Pukul 13.30 aku tiba di bandara Saigon, terlihat Hasan tersenyum menyambutku. Ada rasa haru bertemu lagi dengan Hasan , teringat ketika dia datang ke Batam belajar di Mahad Said bin Zahid beberapa tahun yang lalu, saat itu Hasan, sepatah pun tak dapat mengucapkan bahaya Indonesia, Syahadat pun dia tak bisa melapazkannya , apalagi huruf Hijaiyah.

Hasan adalah orang keturunan Champa yang mengaku beragama Islam. Di daerah Phan Rang Vietnam mereka menamakan Islam Bani, berbeda dengan Islam lainnya. Mereka, pengikut Bani tidak sembahyang dan tidak berpuasa , semua amalan itu diwakilkan kepada orang yang dipanggil tok Imam dan tok Hakim pemuka Agama Islam Bani .

Orang – orang Bani pun tidak di khitan, masjid mereka tersendiri. Jadi rencana kami adalah ke Provinsi Phan Rang , ke rumah dan ke kampong Hasan, Hasan sekarang sudah melaksanakan shalat 5 kali sehari semalam , banyak ayat2 pendek yang sudah dihafalnya , lumayan lancer bahasa Indonesianya.

Sementara kedua orang tua Hasan masih beragama Islam Bani, begitu juga seluruh keluarganya. (bersambung)

4 Tanggapan

  1. Salam pak imbalo …kita di hochimin bukan di saigom…macammanapun sambang saja ceritanaya..

    Suka

  2. umur tak membatasi semangat ya pak…mantap…lanjutkan perjuangan. Semoga Allah selalu melindungi bapak..

    Suka

Tinggalkan komentar