Batak Tetapi Mengapa Tidak Bermarga?


Di Batam sejak puluhan tahun yang lalu telah bermukim suku Batak. Ada yang datang dari Medan, dan ada yang melalui Dumai atau Pekanbaru. Nah komunitas Batak Islam yang di Batam ini mendirikian satu perkumpulan yang bernama  Ikatan Keluarga Batak Islam (IKBI) Batam.

Banyak dari mereka yang tergabung dalam perkumpulan ini tidak mencantumkan marga di depan namanya. Salah seorang  yang bernama Imbalo ini hehehehe. Mengapa ?…… ada alasan tersendiri karena menyangkut urusan agama.

Menurut Effan, sebagaimana emailnya perlu ada kajian antara adat dan agama (Islam) : “Tetapi  karena sebagian besar warga sudah menjadi Muslim, maka perlu ada kajian hubungan Islam dengan keberadaan adat itu sendiri. Dan salah satu permasalahan ‘besar’ yang cukup berat ialah masalah penambahan nama ‘suku’ atau marga atau nama ‘nenek moyang’ setelah nama dirinya”.

Dijeaskan Effan dengan panjang lebar argumentasinya sbb :

“Masalah penambahan nama nenek moyang dan bukan nama orang tua langsung pada nama setiap orang lalu dikaitkan pula dengan hubungan adat dan agama, inilah seyogianya dirasa perlu merujuk pada ajaran Islam itu sendiri”.

Effan pun mengutip ayat Quran :

“Sebagai contoh menururt Al Quran ada suatu kewajiban dalam hal penggunaan nama sendiri ditambahi dan menambah nama ‘orang tua’ atau bapak-nya dan bukan nama atau identitas suku atau marga atau nama nenek moyangnya sendiri”.

” Mari kita simak QS. 33:5″   ujar Effan lagi :   “Panggilah mereka (anak-anak angkat itu) dengan (memakai) nama bapak-bapak mereka; itulah yang lebih adil pada sisi Allah, dan jika kamu tidak mengetahui bapak-bapak mereka, maka (panggilah mereka sebagai) saudara-saudaramu seagama dan maula-maulamu. Dan tidak ada dosa atasmu terhadap apa yang kamu khilaf padanya, tetapi (yang ada dosanya) apa yang disengaja oleh hatimu. Dan adalah Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang” .

Menurut Effan tak baik pengkultusan dalam mencantumkan marga :  “Jika penambahan identitas nama atau suku atau marga dilihat dari kaca mata ajaran Islam, maka sudah nampak kecendrungan ke upaya ‘kesakralan’ atau pengkultusan sesuatu yakni nama suku atau marganya atau nama nenek moyang kita”.

Masih menurut Effan lagi dalam Islam tidak ada larangan menikah semarga :  “Akibat yang cukup mendasar dari penampakan identitas marga atau suku tersebut adalah dengan adanya ketentuan atau rumusan adat seperti tidak boleh kawin semarga atau sesuku. Pada hal dalam Islam tidak ada larangannya seseorang lelaki dengan perempuan yang berasal dari satu marga semacam itu”.

Kewajiban memberikan marga :  “Atau akibat lainnya, kalau seseorang itu belum bermarga karena berasal dari suku lain, lalu akan dikawinkan maka ada suatu kewajibkan baginya untuk dipasangkan atau diangkat menjadi warga suku atau marga tertentu pula”.

“Atas dasar sederhana tersebut, maka dirasa sudah perlu untuk kita kaji kembali masalah hubungan adat dengan ajaran agama khususnya Islam. Salah satu contoh penting kita kembali menerapkan identitas nama ‘bapak’ kita secara langsung itu lebih baik dari pada nama ‘nenek moyang’ kita dimana kita tak jelas riwayatnya, Muslim atau bukan”. Tulis Effan dengan panjang lebar

Karena pendapat saya di atas, maka saya mohon maaf jika tidak berkenan untuk dikemukakan”. ujar Effan mengakhiri tulisannya.

Tetapi saya Imbalo tidak tercantum marga di akhir nama bukan karena itu…..

8 Tanggapan

  1. Tapi karena sebagian besar warga sudah menjadi Muslim, maka perlu ada kajian hubungan Islam dengan keberadaan adat itu sendiri. Dan salah satu permasalahan ‘besar’ yang cukup berat ialah masalah penambahan nama ‘suku’ atau marga atau nama ‘nenek moyang’ setelah nama dirinya.

    Masalah penambahan nama nenek moyang dan bukan nama orang tua langsung pada nama setiap orang lalu dikaitkan pula dengan hubungan adat dan agama, inilah seyogianya dirasa perlu merujuk pada ajaran Islam itu sendiri. sebagai contoh menururt Al Quran ada suatu kewajiban dalam hal penggunaan nama sendiri ditambahi dan menambah nama ‘orang tua’ atau bapak-nya dan bukan nama atau identitas suku atau marga atau nama nenek moyangnya sendiri, mari kita simak QS. 33:5 sbb.

    Panggilah mereka (anak-anak angkat itu) dengan (memakai) nama bapak-bapak mereka; itulah yang lebih adil pada sisi Allah, dan jika kamu tidak mengetahui bapak-bapak mereka, maka (panggilah mereka sebagai) saudara-saudaramu seagama dan maula-maulamu. Dan tidak ada dosa atasmu terhadap apa yang kamu khilaf padanya, tetapi (yang ada dosanya) apa yang disengaja oleh hatimu. Dan adalah Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.

    Jika penambahan identitas nama atau suku atau marga dilihat dari kaca mata ajaran Islam, maka sudah nampak kecendrungan ke upaya ‘kesakralan’ atau pengkultusan sesuatu yakni nama suku atau marganya atau nama nenek moyang kita.

    Akibat yang cukup mendasar dari penampakan identitas marga atau suku tersebut adalah dengan adanya ketentuan atau rumusan adat seperti tidak boleh kawin semarga atau sesuku. pada hal dalam Islam tidak ada larangannya seseorang lelaki dengan perempuan yang berasal dari satu marga semacam itu.

    Atau akibat lainnya, kalau seseorang itu belum bermarga karena berasal dari suku lain, lalu akan dikawinkan maka ada suatu kewajibkan baginya untuk dipasangkan atau diangkat menjadi warga suku atau marga tertentu pula.

    Atas dasar sederhana tersebut, maka dirasa sudah perlu untuk kita kaji kembali masalah hubungan adat dengan ajaran agama khususnya Islam. Salah satu contoh penting kita kembali menerapkan identitas nama ‘bapak’ kita secara langsung itu lebih baik dari pada nama ‘nenek moyang’ kita dimana kita tak jelas riwayatnya, Muslim atau bukan.

    Karena pendapat saya di atas, maka saya mohon maaf jika tidak berkenan untuk dikemukakan. Wass.

    Suka

  2. Pak Imbalo saja, terima kasih anda sudah mencoba mendiskusikan masalah ini, saya hanya berdoa semoga Allah SWT memberkahi anda dan keluarga dan kita diselamatkan di dunia dan akhirat. Dan, tak lupa kita mengucapkan shalawat pada junjungan Nabi Muhammad SAW.

    Suka

    • wah …. ada yang kebakaran jenggot……….. karena komen nya kasar jadi ku delet aja dasar orang tak beradab…………. yang merasa komen nya ku delet anda lah penghiatan itu…

      Suka

  3. Betul !!!

    Suka

  4. Maaf Pak, Bapak masih ada Hubungan Keluarga dengan Ibu Sofiani yang skarang tinggal di Jalan Bangka – Jakarta. Terimakasih.

    Suka

    • Sofiani?….. emh emh kurang jelas saya, sekarang saya tinggal di Batam, dulu di Medan…..apa ibu Sofiani kenal dengan saya?..atau ada nama panggilan yang lain?

      Suka

  5. ha ha gha menarik sekali kisah pak Imbalo ini. saya juga pernah prtes tentang orang Minang tak boleh kawin sesuku. kebetulan ada orang sesuku yang menarik hati saya, tapi karena adat tak boleh (kata ada haram kawin sesuku) jadilah saya mundur teratur. tetapi memang kalau bapak Imbalo dan orang batak Islam se Batam memutuskan begitu, itu adalah satu keputusan yang positif juga, bagi yang tak setuju, tak usah mengganggu. tetapi memang menurut saya, agama Islam itu menghargai adat istiada masyarakat Islam di seluruh dunia. kalau masalah marga yang menurut pak Imbalo tak sesuai dengan ayat al-Quran yang dikutip di atas oleh pak Imbalo, ya menurut saya itu bukan satu hal yang wajib. yang wajib adalah shalat, puasa, zakat, syahadat dan haji jika mampu. bagaimanapun identitas sebagai bangsa (suku dan adat-adat yang dipakainya) perlu pula dipelihara, supaya anak-cucu kita tidak kehilangan jati diri. jadi masalah yang dikemukakan pak ImImbalo itu tidak prinspi. tetapi bagi yang setuju silahkan saja.

    Suka

  6. ha ha ha ha . saya melihat memang itu keputusan bersama satu kelompok (khususnya orang Batak islam) se Batam. dari sini saya melihat kepala suku pertama yang memproklamirkan “Tiada Marga, tiada gelar bagi IKBI, yang perlu dicantumkan adalah nama orang tua. bagi komunitas IKBI ini akan membuat sejarah baru bagi keturunan IKBI. perlu ditulis sejarah munculnya kasus tak bermarganya orang IKBI, siapa keluarga pertama yang mempeloporinya. soalnya di Aceh ada perantau Batak Karo, mereka tetap memegang marga, walaupun sebagian besar mereka berpindah dari agama asli pelbegu atau kalau sudah ada yang Kristen, tetapi mereka tidak menciptakan suatu masyarakat baru sebagaimana di Batam. karena di Aceh, sebagian masyarakat Aceh terbentuk dari perantau-perantau berbagai suku bangsa, seperti Minang, Jawa, Melayu, Batak, Persia, India, Arab, pokoknya campur aduk bergelimang tapai jo ketan. woi lamak bana…gak patah salero bagindo ko….he he he. jadi sejarah itu adalah ciptaan Tuhan. adanya IKBI Batam yang membuang marga dan mengenakan nama bapak, adalah sejarah. bahkan sebagian sejarawan mengatakan sejarah itu adalah Tuhan itu sendiri. siapa yang menyalahkan sejarah berarti menyalahkan Tuhan. jadi masudnya, walau sejarah/peristiwa ada tangan-tangan manusia di dalamnya, tapi putusan akhir yang bekerja adalah Tangan Tuhan. bukan meniru istilah Maradona lho, yang terkenal dengan gol Tangan Tuhan….. he he he.ya begitulah, orang IKBI di Batam telah membuat sejarah baru, dan itu telah disetujui oleh Allah Swt. buktinya sampai saat ini semua warga IKBI mematuhi peraturan ini. di Minangkabau ada konvensi Marapalam, sejak konvensi itu tercipta sejarah baru di Minangkabau. begitu juga di daerah lain, seperti Hamzah Fansuri dengan karya-karya sastra (syair-syairnya), Fansuri telah menciptakan satu konvensi baru bahasa, yakni bahasa Melayu. dan kemudian diperkuat oleh Abdullah bin Abdulkadir Munsyi. jadi sejarah itu adalah Tuhan (Allah Swt) sedangkan orang-orang yang terlibat dalam sejarah adalah wayang yang dimainkan Tuhan. agaknya kalimat yang mengatakan sejarah adalah Tuhan berasal dari hadits Nabi. redaksinya kira-kira artinya begini: “Jangan kau mencela sejarah, karena sejarah itu adalah Tuhan!” Terimakasih pak Imbalo, pak Effan. Wassalamu’alaikum warahmatullah wabarakaatuh!

    Suka

Tinggalkan komentar