WS Rendra (Wahyu Sulaeman Rendra) Selamat Jalan


Innalillahi wainnailahirojiun.

Semoga beliau diampuni semua kekhilafannya, diterima semua amal ibadahnya, diterima iman dan Islamnya dan dijadikan ahli surga-Nya.

Amien. Sudah sepantasnya negara memberikan penghargaan yang layak bagi beliau.  Seorang seniman yang konsisten,jujur dan sederhana.

Banyak sekali ucapan duka, komentar , rasa kelihangan dengan meninggalnya WS Rendra, Penyair , Budayawan dan entah apalagi nama dan julukan yang di berikan kepadanya, pria 73 tahun ini menghembuskan nafas terakhirnya tadi malam (Kamis , 6/8) sekitar pukul 22.oo wibb .

Di akhir -akhir hayat nya pun beliau masih sempat memuji khaliq nya dengan puisi. Dan yang lebih mengagumkan lagi kalau Allah menghendaki memberikan hidayah kepada makhluk nya, sebagaimana  WS Rendra yang dahulu nya   non muslim dan beberapa agama pernah dianut nya ternyata beliau tertarik Agama Islam di negeri Paman Sam :

Sejak kapan Anda tertarik dengan agama Islam?

Sejak saya belajar drama di Amerika Serikat. Saya mengenal agama Islam pada awalnya dari leaflet yang dibagi-bagikan oleh orang-orang black Moslem. Saat itu saya baca surah Al-Ikhlas yang menggetarkan hati saya secara teologis. Iman saya terguncang saat membaca surah tersebut. Kegelisahan saya memuncak apalagi setelah saya membaca surah lainnya seperti surah Al-Ma’un.

Banyak tulisan tentang WS Rendra ( Willibrordus Surendra Broto Rendra), demikian nama panjang almarhum yang selalu di ulang ulang oleh detik.com padahal nama itu telah berubah sejak beliau memeluk Islam Daftar Riwayat WS Rendra sbb :

Nama                      : WS Rendra
Nama Lengkap    : Wahyu Sulaeman Surendra Broto Rendra
Tarikh Lahir         : Solo, 7 Nopember 1935
Agama                    : Islam
Isteri                       : Ken Zuraida

Pendidikan:
– SD, SMP, SMA St. Josef, Solo
– Fakultas Sastra dan Kebudayaan Universitas Gajah Mada, Yogyakarta
– American Academy of Dramatical Art, New York, USA (1967)

Karya-Karya
Drama:
– Orang-orang di Tikungan Jalan
– SEKDA dan Mastodon dan Burung Kondor
– Oedipus Rex
– Kasidah Barzanji
– Perang Troya tidak Akan Meletus
– dll

Sajak/Puisi:
– Jangan Takut Ibu
– Balada Orang-Orang Tercinta (Kumpulan sajak)
– Empat Kumpulan Sajak
– Rick dari Corona
– Potret Pembangunan Dalam Puisi
– Bersatulah Pelacur-Pelacur Kota Jakarta
– Pesan Pencopet kepada Pacarnya
– Rendra: Ballads and Blues Poem (terjemahan)
– Perjuangan Suku Naga
– Blues untuk Bonnie
– Pamphleten van een Dichter
– State of Emergency
– Sajak Seorang Tua tentang Bandung Lautan Api
– Mencari Bapak
– Rumpun Alang-alang
– Surat Cinta
– dll

Kegiatan Lain:
Anggota Persilatan PGB Bangau Putih

Penghargaan:
– Hadiah Puisi dari Badan Musyawarah Kebudayaan Nasional (1957)
– Anugerah Seni dari Departemen P & K (1969)
– Hadiah Seni dari Akademi Jakarta (1975)

Biodata:
W.S Rendra dilahirkan di Solo, 7 November 1935 dengan nama Willibrordus Surendra Broto Rendra. Setelah menjadi muslim namanya menjadi Wahyu Sulaeman Broto Rendra. Ia mendapat pendidikan di Jurusan Sastera Barat Fakultas Sastra UGM (tidak tamat), kemudian memperdalam pengetahuan mengenai drama dan teater di American Academy of Dramatical Arts, Amerika Syarikat (1964-1967).

Sekembali dari Amerika, Rendra mendirikan Bengkel Teater di Yogyakarta dan sekaligus menjadi pemimpinnya. Tahun 1971 dan 1979 dia membacakan sajak-sajaknya di Festival Penyair International di Rotterdam.

Pada tahun 1985 mengikuti Festival Horizonte III di Berlin Barat, Jerman. Kumpulan puisinya; Ballada Orang-orang Tercinta (1956), 4 Kumpulan Sajak (1961), Blues Untuk Bonnie (1971), Sajak-sajak Sepatu Tua (1972), Potret Pembangunan dalam Puisi (1980), Disebabkan Oleh Angin (1993), Orang-orang Rangkasbitung (1993) dan Perjalanan Aminah (1997). */kpo

“JIKA ada agama yang sanggup memberikan kepuasan intelektual dan spiritual kepada saya, agama itu adalah agama Islam. Saya berani mengatakan demikian karena saya punya pengalaman memeluk banyak agama dan bahkan pernah tidak beragama, dalam pengertian hanya percaya pada adanya Tuhan Yang Mahakuasa!” ujar penyair Rendra, Senin malam (17/9) membuka percakapannya dengan penulis di Hotel Setiabudi, Jln. Setiabudhi Bandung.

Malam itu Rendra yang terlahir dengan nama Willibrordus Surendra Broto Rendra tampak berseri-seri, sehat, dan awet muda. Daya humornya cukup tinggi. Ia datang ke Bandung atas undangan Fakultas Pendidikan Bahasa dan Seni (FPBS) Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) Bandung bekerja sama dengan HU Pikiran Rakyat Bandung untuk sebuah acara diskusi dan baca puisi, yang digelar Selasa pagi (18/9) di universitas tersebut.

“Islam itu agama yang sempurna. Secara teologis kepuasaan saya terhadap agama Islam itu; saya temukan dalam surah Al-Ikhlas.

Apa sebab saya berkata demikian? Sebab hanya agama Islamlah yang dengan tegas mengatakan bahwa Allah SWT itu Maha Esa tidak beranak dan tidak pula diperanakkan.

Keyakinan saya tentang ini tidak bisa ditawar lagi. Saya ikhlas memeluk agama Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad saw. Saya bersyukur kepada Allah SWT yang telah memberikan hidayah, rahmat, dan karunia-Nya kepada saya untuk memeluk agama Islam,” tutur Rendra, yang pada bulan Oktober 2007 mendatang bakal menerima gelar doktor honoris causa (HC) dari Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta untuk bidang sastra.

Menyinggung soal sastra, dalam hal ini kesusastraan, Rendra mengatakan bahwa kesusastraan adalah ekspresi yang mengungkapkan rahasia liku-liku pikiran, batin, dan naluri manusia. Sejak Solon berkuasa di Athena, beberapa abad sebelum Tarikh Masehi, orang Yunani purba menganggap bahwa menguasai pemahaman kesusastraan berarti memiliki keunggulan pemahaman manusia di dalam percaturan kepentingan dengan bangsa-bangsa lain.

“Kesadaran pendidikan bangsa seperti itu diadopsi oleh orang-orang Romawi dan seterusnya oleh orang-orang Eropa di zaman awal pembentukan kerajaan-kerajaan di Eropa. Bahkan, sampai saat ini dalam sistem pendidikan Liberal Arts di dunia Anglo Saxon, kesusastraan menjadi inti mata pelajaran,” jelas penulis lakon “Panembahan Reso,” sebuah lakon drama yang berbicara tentang suksesi kekuasaan. Lakon ini pada zaman Orde Baru nyaris tidak mendapat izin untuk dipentaskan, karena dinilai menyinggung kekuasaan Presiden Soeharto, yang tumbang oleh gerakan reformasi pada tahun 1998 lalu.

Di Tiongkok, kata Rendra lebih lanjut, sejak zaman dinasti Han di abad kedua sebelum Tarikh Masehi, kesusastraan menjadi sumber pengetahuan bangsa yang utama. Recruitment untuk birokrasi kerajaan diselenggarakan melewati ujian pengetahuan para calon dalam bidang kesusastraan. Kemudian tradisi ini diadopsi oleh Jepang dan Korea sejak zaman purba.

“Nah, bangsa-bangsa yang mengalami pendidikan kesusasteraan di dalam pendidikan formal dan elementer, ternyata selalu unggul di dalam percaturan kepentingan di dunia. Bangsa kita memang sudah mampu melahirkan karya sastra tulis yang unggul sejak abad ke-10 Masehi. Berarti lebih dulu dari beberapa bangsa di Eropa. Sayangnya, pendekatan pemahaman ilmiah-analitis terhadap karya-karya kesusastraan terlambat dikenal oleh bangsa kita. Sedangkan transfer budaya pemahaman karya sastra secara modern itu terbata-bata, karena sistem penjajahan. Bangsa kita dijajah oleh pemerintah Hindia Belanda yang tidak peduli mendirikan pendidikan tinggi untuk ilmu sastra. Apa sebab? Karena mereka takut bangsa yang tengah dijajahnya itu menjadi bangsa yang pintar dalam berbagai bidang kehidupan,” jelas Rendra yang pada 1964-1967 tinggal di Amerika Serikat untuk belajar di American Academy of Dramatical Arts di New York, sebuah sekolah drama terkenal hingga kini.

Sepulangnya dari Amerika Serikat, Rendra mendirikan Bengkel Teater di Yogyakarta. Kelompok teater yang dikelolanya ini menjadi terkenal di Indonesia dan bahkan ke mancanegara, karena apa yang dikreasinya pada saat itu memunculkan idiom-idiom baru seperti yang diperlihatkannya dalam pertunjukan teater “Bip-Bop” yang menggemparkan di awal tahun 1970-an.

Di bawah ini petikan percakapan “PR” dengan Rendra, baik mengenai ketertarikannya terhadap agama Islam, sastra, maupun pendidikan seni. Selain itu, saat ini ia telah menyiapkan kumpulan puisi terbarunya yang diberi judul “Penabur Benih”.

Sejak kapan Anda tertarik dengan agama Islam?

Sejak saya belajar drama di Amerika Serikat. Saya mengenal agama Islam pada awalnya dari leaflet yang dibagi-bagikan oleh orang-orang black Moslem. Saat itu saya baca surah Al-Ikhlas yang menggetarkan hati saya secara teologis. Iman saya terguncang saat membaca surah tersebut. Kegelisahan saya memuncak apalagi setelah saya membaca surah lainnya seperti surah Al-Ma’un.

Surah Al-Ma’un?

Ya. Surah ini sungguh luar biasa, tidak hanya mengungkap soal hubungan manusia dengan Tuhannya yang diekspresikan dalam ibadah salat, tetapi juga berbicara soal pentingnya memerhatikan anak-anak yatim dan orang miskin. Orang yang salat pun akan celaka bukan hanya karena ia lalai dengan salatnya, tetapi juga karena ia menghardik anak yatim dan melupakan orang-orang miskin.

Dalam konteks yang demikian itu manusia tidak hanya membangun hubungan dirinya dengan Tuhannya, tetapi juga dengan sesama manusia.

Tentu saja surah-surah yang saya baca itu bukan dalam huruf Arab, tetapi dalam terjemahan bahasa Inggris. Dengan adanya keyakinan bahwa Allah SWT itu Esa, sebagaimana yang diungkap dalam surah Al-Ikhlas, seketika itu saya meragukan agama yang saya anut dan memang sejak kanak-kanak saya sudah meragukan agama yang saya anut. Jadi, dengan keraguan semacam itu sesungguhnya saya tidak beragama, namun demikian saya tetap yakin akan adanya Tuhan Yang Mahakuasa. Itulah yang saya maksud dengan tidak beragama itu, sebelum saya memeluk Islam, meski getarnya sudah mengguncang hati saya. Dalam keadaan kekosongan spiritual itulah saya masih sempat memeluk agama lainnya di luar agama Islam dan Kristen Katolik. Saya pernah memeluk agama Hindu dan Buddha, tetapi batin saya tetap resah, tidak terpuaskan.

Begitu saya mantap dengan Islam, alhamdulillah jiwa saya semakin tenang. Dalam konteks inilah saya menemukan kepuasaan baik secara intelektual maupun secara spiritual.

Surah lainnya yang menggetarkan Anda ketika di Amerika, surah apa?

Surah Al-‘Asr, surah ke-103. Dalam surah tersebut kita dihadapkan pada soal pengelolaan waktu. Orang-orang yang merugi adalah orang yang tidak bisa mengelola waktu dalam hidupnya di jalan kebaikan. Jalan kebaikan saja tidak cukup. Ia ternyata harus beriman, beramal saleh, mengerjakan kebajikan, serta saling menasihati untuk kebenaran dan saling menasihati untuk kesabaran.

Jadi, lewat surah-surah yang saya sebutkan tadi, sekali lagi saya tegaskan bahwa Islam datang kepada saya lewat pemahaman intelektual dan spiritual.

Pertanyaan-pertanyaan filsafat yang saya ajukan selama ini terjawab sudah. Subhanallah, saya tidak menyangka bisa sampai pada kenikmatan hidup seperti sekarang ini. Sekarang masalahnya adalah tinggal bagaimana saya mengucap rasa syukur saya kepada Allah SWT. Ini persoalan lainnya yang harus saya aktualisasikan.

Apakah kegelisahan semacam itu terekspresikan dalam karya sastra yang Anda tulis?

Ya. Pengembaraan intelektual dan spiritual yang saya rasakan hingga saya puas dengan agama Islam itu, saya ekspresikan dalam sebuah puisi yang saya beri judul “Suto Mencari Bapa”. Puisi itu merupakan biografi saya. Dalam larik penutup puisi tersebut saya cantumkan surah Al-Ikhlas.

Lepas dari soal agama Islam. Apa yang Anda lihat atas menurunnya minat masyarakat dalam memperdalam seni tradisional di perguruan-perguruan tinggi seni saat ini?

Dari sisi ekonomi hal itu sangat mudah kita lihat. Sekolah tinggi seni kita hingga saat ini, diakui atau tidak, belum bisa menghasilkan uang. Artinya, bila seseorang lulus sekolah teater atau tari, ketika terjun ke lapangan ia belum bisa mendayagunakan apa yang dikuasainya itu bisa jadi uang. Biaya produksi itu lebih besar daripada pendapatan yang dihasilkan dari pementasan.

Nah, berkait dengan itu ada baiknya sekolah-sekolah tinggi seni tersebut bila ingin tetap diminati masyarakat — maka pemerintah harus menggratiskan pendidikan seni bagi masyarakat yang meminatinya. Bahkan, kalau mungkin kasih beasiswa hingga melanjutkan ke jenjang lebih tinggi bila orang yang berminat memperdalam pendidikan seni tersebut hingga ke luar negeri. Bengkel Teater tidak memungut biaya sepeser pun bagi mereka yang ingin memperdalam ilmu teater di Bengkel Teater. Seharusnya sekolah tinggi seni itu seperti itu.

Selain itu, tentu saja dewasa ini tantangan di dunia hiburan cukup beragam, ketat, dan masing-masing memperlihatkan daya pesonanya. Orang menggeluti seni tradisi dengan demikian harus mampu melahirkan konsep-konsep seni baru sehingga apa yang dikreasinya itu bisa tetap menawarkan daya pesona untuk diapresiasi. Di Jawa misalnya saat ini, apa yang dikreasi oleh Slamet Gendono dengan pertunjukan wayang suket itu, merupakan hasil dari daya kreasi Jawa Baru. Jadi, daya kreatif semacam itulah yang dibutuhkan saat ini agar orang-orang tetap tertarik dengan seni tradisi yang terus memperbarui darinya dari zaman ke zaman. (Soni Farid Maulana)***

Selamat jalan menemui khaliq mu semoga Allah mengampuni dosa dosa mu, menerima amal-amal mu selama di dunia, dan menerima mu di sisi NYA. Amien ya Rabbal Alamin……………………

2 Tanggapan

  1. inna lillahi..

    saya baru tahu pas liat di tv, ternyata almarhum udah memeluk islam dan berganti nama.. subhanallah..

    Suka

  2. saya bangga sekali karena orang yang saya banggakan memeluk agama islam agama keselamatan… saya tdi sempat kecewa waktu di kampus liat buku dengan biografi rendra disitu tercantum rendra dengan latar belakang katolik… tapi setelah saya telusuri di internet ternyata agama rendra adalah islam… malkasih buat yang punya situs ini.

    Suka

Tinggalkan komentar