Insiden di DPRD Sumut – Bibit Konflik Warisan Belanda


Kota Sibolga Ibukota Tapanuli Tengah

Kota Sibolga Ibukota Tapanuli Tengah

Tulisan ini 100 % di kutip dari  http://www.republika.co.id/koran/14/29514/Bibit_Konflik_Warisan_Belanda Kamis, 05 Februari 2009 pukul 06:26:00

Tulisan ini juga menjawab banyak nya komentar dari bloger-bloger yang tak berani mencantumkan alamat nya tetapi memberikan komentar yang kami masukkan saja menjadi spam karena tak pantas rasanya di tampilkan di blog ini . Misionaris, Dibalik Rusuh Provinsi Tapanuli

Oleh Nian Poloan

Awalnya, wilayah Tapanuli hanyalah terdiri atas Kabupaten Tapanuli Utara, Tapanuli Tengah, Tapanuli Selatan, Kota Sibolga, dan Kota Padang Sidempuan. Inilah yang pada zaman Belanda dahulu disebut sebagai Karesidenan Batak, yang kemudian diganti menjadi Karesidenan Tapanuli.

Distrik Mandailing yang terdiri atas Tapanuli Selatan, Padang Sidempuan, dan sebagian Tapanuli Tengah, enggan bergabung di Karesidenan Batak. Keengganan Distrik Mandailing itu bisa dipahami.Selain karena mereka mayoritas Islam, etnis Mandailing memang sejak lama tidak sudi dimasukkan ke dalam subetnis Batak, meski dalam antropologi memang pembawaannya (traits) demikian. Bahkan, mereka menyatakan keberatan dan mengancam akan masuk ke dalam Karesidenan Padang.

Pemerintah Belanda akhirnya mengambil jalan tengah, menghilangkan Karesidenan Batak dan menggantinya menjadi Karesidenan Tapanuli, yang berasal dari kata Tapian Na Uli–nama sebuah teluk di Sibolga.Meski tidak lagi mengakui sistem karesidenan bentukan pemerintahan kolonial, Pemerintah Indonesia secara de jure terkesan masih mengakui eks karesidenan yang berada di pantai barat Sumatra Utara (Sumut) itu.

Terbukti, meskipun sama-sama dalam satu provinsi, eks karesidenan Tapanuli itu memakai nomor polisi kendaraan yang berbeda dengan Sumut. Jika Sumut menggunakan nomor polisi BK xxxx, eks karesidenan Tapanuli menggunakan nomor polisi BB xxxx.Kendati hidup di tengah daerah yang pluralis dalam sebuah provinsi, sesungguhnya ada ketimpangan mencolok dari segi agama di daerah yang sebagian besar wilayahnya berada di kawasan Pegunungan Bukit Barisan seluas 71.680 kilometer persegi ini.

Mereka yang beragam Islam, mayoritas tinggal di bagian selatan (Tapanuli Selatan, Padang Sidempuan, dan sebagian Tapanuli Tengah serta Sibolga). Adapun yang mayoritas Kristen atau Protestan tinggal di utara (Tapanuli Utara dan sebagian Tapanuli Tengah atau Sibolga). Kepentingannya pun menjadi berbeda.Itu mulai terlihat saat pemekaran wilayah terjadi, yang dimulai dari Tapanuli Utara pada 2001. Dari kabupaten ini muncullah Kabupaten Humbang Hasundutan.

Dua tahun kemudian, dari kabupaten baru ini lahir lagi Kabupaten Samosir, yang dimekarkan lagi menjadi Kabupaten Toba Samosir. Dengan kata lain, Kabupaten Tapanuli Utara telah melahirkan tiga kabupaten baru hanya dalam kurun waktu empat tahun. Beruntunnya kelahiran kabupaten baru di kawasan Tapanuli bagian utara itu, mencengangkan dan menimbulkan banyak pertanyaan. Apakah pemekaran wilayah itu murni untuk pemerataan pembangunan, meningkatkan kemakmuran masyarakat, memperpendek jalur birokrasi–begitu biasanya alasan penggagasnya–atau ada misi lain?

Misi lain memang tampaknya lebih menguat, mengingat dari segi potensi wilayah, penduduk, dan faktor-faktor sosiologis lainnya, daerah pemekaran baru ini sesungguhnya tidak begitu kuat.’Misi’ tersembunyi itu baru terbuka ketika muncul gagasan untuk membentuk Provinsi Tapanuli (Protap), yang daerahnya didukung dari wilayah pemekaran itu. Sesuai ketentuan, dengan lima wilayah kabupaten atau kota, cukup sudah bisa menjadi modal untuk membentuk provinsi baru.

Maka, digandenglah Tapanuli Tengah, Sibolga, dan Nias Selatan. Ketujuh kabupaten kota (Tapanuli Utara, Humbang Hasundutan, Samosir, Toba Samosir, Tapanuli Tengah, Sibolga, Nias Selatan) inilah yang kemudian mengikrarkan diri membentuk Protap, yang tahapannya sudah sampai mendapat persetujuan DPRD Sumut, gubernur, DPR, dan pemerintah pusat.Tapi belakangan, Tapanuli Tengah menarik diri, karena tidak cocok dengan penetapan ibu kota Protap. Panitia menetapkan ibu kotanya adalah Siborongborong di Toba Samosir. Sedangkan Tapanuli Tengah menginginkan Sibolga.

Gara-gara ini pula, DPRD Sumut sebagai pihak yang harus mengeluarkan rekomendasi, meminta kembali kepada gubernur untuk melakukan pengkajian ulang. ”Kita meminta agar gubernur mengkaji ulang kelayakan pembentukan Provinsi Tapanuli,” kata Ketua DPR Sumut, Abdul Azis Angkat, dalam wawancara dengan Republika, sehari sebelum meninggal akibat aksi demo anarki pendukung Protap.

Dia sempat mengisyaratkan, pembentukan Protap tak lagi didukung pusat, setelah keluarnya Tapanuli Tengah. Ini untuk menghindari pemekaran wilayah yang berdasarkan etnisitas–sebagaimana terkesan dalam pembentukan Protap.Azis membantah tudingan yang menyatakan dewan sengaja menghambat pembentukan Protap, dan sebaliknya mengedepankan wacana pembentukan Provinsi Sumatra Tenggara (Prosumteng), yang mulai bergulir akhir 2008 lalu. ”Semuanya kami sikapi sesuai peraturan dan ketentuan,” katanya.

Dia menilai wacana pembentukan Prosumteng patut ditanggapi oleh DPRD, sebagai salah satu institusi penting dalam proses pembentukan wilayah baru. Bahkan, beberapa pihak menilai Prosumteng–Tapanuli Selatan, Padang Sidempuan, Padang Lawas, Padang Lawas Utara, dan Mandailing Natal–dinilai lebih kuat dari sisi potensi wilayah.”Luas wilayah itu sampai 26,37 persen dari luas Provinsi Sumut dan memiliki sumber daya alam yang tinggi, seperti pertanian, perkebunan, dan pertambangan,” kata Hamdani Harahap, salah satu panitia pembentukan Prosumteng.

Panitia pun tampaknya sangat matang untuk mengegolkan provinsi baru yang menjadi ‘saingan’ Protap ini. Terbukti, dari segi nama, mereka tidak menggunakan istilah Tapanuli, meski lebih dikenal sebagai wilayah Tapanuli bagian selatan (Tabagsel). ”Kami pilih Prosumteng untuk menghilangkan kesan etnis (Batak) dan agama (Kristen atau Protestan) yang melekat pada Protap,” papar Hamdani.

Landasan berpikir itu pula yang membuat Prosumteng didukung banyak pihak. Belakangan, Kabupaten Tapanuli Tengah–yang keluar dari Protap–malah menyatakan ingin bergabung.Meskipun masih diperlukan pengkajian dari segi sosiologis, politis, dan demografis, Prosumteng terus berusaha mencari dukungan. Antara lain, melakukan aksi massa ke DPRD Sumut secara santun, sehari sebelum aksi anarki dari pendukung Protap.

Aksi anarki yang berujung jatuhnya korban Ketua DPRD Azis Angkat, Selasa (3/2) lalu, boleh jadi merupakan embrio dari bibit konflik yang sudah tersemai sejak penyatuan distrik Mandailing dengan Karesidenan Tapanuli oleh Belanda. Itu terjadi di tengah kehidupan sentimen agama dan etnis yang begitu kuat mengental.Dan seperti yang ditakutkan, semangat memekarkan wilayah itu kelak menjadi bibit konflik, di saat kehidupan yang pluralis dan harmonis terjaga di Sumut. Kasus Poso di Sulawesi membuktikan itu.

Sebagian kalangan mendesak dilakukannya moratorium pemekaran wilayah. Sebab, pemekaran tak lagi menganut asas-asas ideal, tapi lebih kepada kepentingan pribadi atau kelompok.Apa pun, insiden di DPRD Sumut yang menewaskan Azis Angkat, telah menorehkan sejarah buruk bagi kehidupan masyarakat di daerah ini. Citra Sumut yang belakangan ini dikenal sebagai wilayah paling kondusif di lingkungan masyarakat yang pluralis, tercoreng sudah.Motto ‘Sumut Luar Biasa’ yang ingin diangkat Gubernur Syamsul Arifin, pun tak cukup kuat menggantikan karakter ‘Ini Medan, Bung!’

Satu Tanggapan

  1. udah cpe bro……..klw negeri kta slalu konflik ap lgi sesama dia………cba lh,sbagai masyrkt kta jngan sling membedakan agam,sku,jabatan…..dsb yg membuat kta hancur.mungkin dlm ksus yg trjadi di tanah batak tu……..bkan hanya menamakna otonami daerah,dn ad jga faktor dri yg memanfat kan pembagian daerah trsbut………

    Suka

Tinggalkan komentar